foto : Pengacara Noch Sambouw, saat diwawancarai di Kantor Pengadilan Negeri Manado
MANADO, Jurnal Investigasi — Pengacara masyarakat Desa Sea, Noch Sambouw, menuding sertifikat tanah yang kini dimiliki Jimmy Wijaya diperoleh melalui hak prioritas yang diduga tidak sah. Hal itu disampaikan Sambouw dalam wawancara di Pengadilan Negeri Manado, Senin (8/12/2025).
Menurut Sambouw, sertifikat tersebut berawal dari permohonan Yan Mumu CS kepada BPN Minahasa pada 1990. Permohonan itu diajukan dengan dasar bahwa mereka merupakan pemegang Hak Guna Usaha (HGU) terakhir dan berhak memperoleh prioritas sesuai Pasal 3 Keputusan Presiden (Keppres) No. 32 Tahun 1979.
“Pasal 3 memang memberikan hak prioritas bagi pemegang HGU, tetapi hanya berlaku jika tanah tersebut belum diduduki,” ujar Sambouw.
Ia menegaskan, tanah di kawasan Kebun Tumpengan, Desa Sea, Kecamatan Pineleng, telah ditempati masyarakat sejak 1960 — jauh sebelum permohonan Yan Mumu CS diajukan maupun sebelum sertifikat diterbitkan pada 1999.
“Karena tanah sudah lebih dulu diduduki masyarakat, seharusnya yang dipakai adalah Pasal 4 Keppres 32/1979, yang memberi hak prioritas bagi warga yang telah menempati lahan tersebut,” kata Sambouw.
Sambouw juga menyoroti Surat Keputusan (SK) Menteri Agraria serta dasar pertimbangan Kepala BPN Minahasa yang digunakan dalam proses penerbitan sertifikat kepada Yan Mumu CS. Sertifikat itu kemudian beralih kepemilikan kepada Jimmy Wijaya.
“Ini hak prioritas yang tidak sah karena mengabaikan fakta bahwa masyarakat sudah puluhan tahun menempati lahan itu,” tegasnya.
Tuduhan tersebut mencuat di tengah proses persidangan kasus dugaan penyerobotan lahan yang pada hari yang sama kembali ditunda. Penundaan terjadi karena saksi pelapor Jimmy Wijaya dan Raisa Wijaya serta saksi ahli kembali tidak hadir. Sambouw bahkan menuding adanya keterangan palsu dalam Berkas Acara Pemeriksaan (BAP) dan meminta majelis hakim melakukan pemanggilan paksa.
Pada sidang sebelumnya, 24 November 2025, dua saksi dari BPN Minahasa mengakui bahwa proses plotting tanah dilakukan hanya menggunakan GPS tanpa pengukuran fisik. Selain itu, luas tanah tidak dicantumkan dalam berita acara. Temuan tersebut semakin menguatkan dugaan adanya cacat administrasi dalam penerbitan sertifikat.
(Tim)

