Jelajahi

Kategori
Best Viral Premium Blogger TemplatesPremium By Raushan Design With Shroff Templates

Pesta Demokrasi Kampus dalam Bayang-bayang Birokrasi

Aswan
22 Desember 2022
Last Updated 2022-12-22T13:54:24Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates



Oleh: Rasmin Jaya/Demisioner GMNI

PESTA DEMOKRASI mahasiswa adalah event yang sangat bergengsi dan momentum tertinggi dalam kelembagaan internal kampus sebagai upaya menyalurkan hak pilih suara mahasiswa. mengukur kualitas demokrasi di lihat seberapa besar partisipasi dan keikutsertaan dalam mengawal pemilu raya kampus.

Bagaimana tidak pemilu raya kampus merupakan sarana dan arena untuk menampilkan kader-kader terbaik serta berkompetisi dalam memperebutkan suara mahasiswa untuk menjadi orang nomor 1 satu dalam kelembagaan internal itu sendiri, di sisi lain ruang ini akan mampu mencetak pemimpin masa depan dan meningkatkan SDM yang berkualitas dan potensi sebagai bekal di masa depan.

Menurut penulis semua figur mesti mempunyai iktikad baik dan harapan panjang melebihi tarikan nafas tentang tata kelola lembaga mahasiswa yang baik, akuntabilitas dan transparan. semua itu demi terciptanya pimpinan kelembagaan yang handal di kemudian hari karena sejatinya kampus merupakan ladang kepemimpinan masa depan yang mampu sehingga kuncup-kuncup pemimpin itu berawal dari mahasiswa.

Maka dengan demikian biarkanlah semua mahasiswa berkompetisi dengan hak politik dan demokrasi yang sama tanpa ada campur tangan birokrasi untuk menekan atau mengintimidasi keikutsertaan mahasiswa. pemira ini juga melatih budaya demokrasi dan cara berpolitik yang untuk menunjukan pengaruh serta kondisi politik lokal dan nasional dalam kran demokrasi sekarang saat ini. 

Peran Mahasiswa Dalam Pusaran Demokrasi

Dengan mengambil peran dan fungsi kita sebagai agen pembaharu dalam menciptakan iklim demokrasi mahasiswa yang lebih baik maka jangan ada sedikit pun campur tangan birokrasi untuk menciptakan bibit-bibit oligarki dan dinasti dalam kelembagaan internal kampus. dalam pesta demokrasi atau pemilu raya kampus setiap mahasiswa harus berkompetisi dan bertarung menawarkan ide dan gagasan untuk perbaikan lembaga kemahasiswaan dan mengembalikan marwah mahasiswa itu di internal kampus. bagaimana tidak, citra kelembagaan kampus seakan akan hilang dengan akibat tindakan pragmatis di sisi lain terjadi krisis legitimasi di mana lembaga kampus tidak lagi menjadi jembatan dan solusi dalam merespon segala masalah dan isu yang di hadapi bangsa ini.

Menurut penulis seharusnya melalui pemira dan pesta demokrasi UHO 2022 kali ini dapat mendorong kebebasan mahasiswa dalam menentukan sikap politik dalam membangun jejaring kerja-kerja konsolidasi dan mobilisasi seperti apa yang kita harapkan. sehingga kualitas demokrasi kampus itu bisa terus meningkat seiring dengan partisipasi mahasiswa dalam mengawal isu-isu yang krusial.

Tantangan Demokrasi Kampus UHO

Pada zaman Orde Baru (Orba), kehidupan politik di kampus sangat dibatasi. hak-hak politik warga kampus, khususnya mahasiswa di rumahnya sendiri (kampus) boleh dikata dikebiri melalui suatu kebijakan yang disebut dengan Normalisasi Kehidupan Kampus/ Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK).

Dengan berdalih mengembalikan fungsi utama kampus sebagai lembaga keilmuan yang fokus pada pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pemerintah melarang berbagai aktivitas politik di dalam kampus. Praktis kondisi ini membuat peran-peran politik warga kampus sangat terbatas. Warga kampus yang merupakan kelompok intelektual tidak bisa banyak memberi sumbangsih pemikiran dan gagasan secara lebih luas bagi bangsa dan negara, lebih-lebih melakukan kontrol kebijakan terhadap pemerintahan saat itu.

Hingga berbagai upaya yang di lakukan oleh mahasiswa di masa itu harus sembunyi-sembunyi dan berbisik bisik ketika membahas masalah krusial dalam tatanan sosial, politik, ekonomi dan pemerintahan. jejaring yang terbangun melalui konsolidasi akar rumput dalam membangun rumpun gerakan.

Kehidupan politik warga kampus yang sangat terbatas ini menjadi salah satu gambaran bahwa saluran demokrasi di negara kita saat itu tersumbat oleh kebijakan pemerintah yang otoriter dan anti terhadap sikap kritis mahasiswa. Tentu, kita tidak ingin kondisi seperti ini terjadi lagi saat ini. suatu kesyukuran seharusnya bagi kita bahwa kehidupan demokrasi di bangsa kita membaik pasca runtuhnya Orba melalui gerakan Reformasi 1998 yang penggerak utamanya adalah warga kampus yang termobilisasi secara terstruktur, masif dan terorganisir.

Upaya depolitisasi dan tekanan pemerintahan terhadap gerakan mahasiswa dan rakyat juga dilakukan dengan berusaha untuk memisahkan antara kehidupan mahasiswa dengan politik secara represif (paksaan). sehingga ABRI bisa melakukan aktivitas dalam ruang pendidikan untuk menekan dan intimidasi mahasiswa dalam membangun diskusi dan membangun kelompok perkawanan, sehingga peristiwa-peristiwa bersejarah yang di alami dalam kejadian Semanggi , Malari atupun Trisakti tertembaknya mahasiswa membuat titik klimaks pemberontakan mahasiswa yang membludak di tambah dengan masalah krisis ekonomi dan moneter membuat semua sadar.

Seperti diterbitkannya pula dalam Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomer 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dan setahun setelahnya juga dikeluarkan Surat Keputusan No.37/U/1979 yang mengatur bentuk dan susunan organisasi kemahasiswaan yang membuat pemerintah mengontrol dengan ketat kegiatan politik yang dijalankan oleh para mahasiswa (Usman, 1999: 155-156). Melalui peraturan tersebut, ruang kampus yang sebelumnya menjadi pusat pergerakan menjadi dibuat mengambang.

Efek lain dari NKK/BKK adalah terjadinya militerisasi di kampus-kampus. meskipun NKK/BKK membuat rektor bertanggung jawab terhadap berbagai pelarangan, juga dibuat jalan untuk pengawasan rutin dari kehidupan mahasiswa oleh ABRI dan badan-badan intelijen sipil. Pengebirian mahasiswa dari watak konfrontatifnya adalah melalui pembentukan mahasiswa sebagai penanda pasif sebagaimana yang diharapkan penguasa. Ada degredasi wacana, dimana kampus lebih sering mengadakan diskusi motivasi dibanding diskusi idiologis gerakan. tradisi intelektual hidup karena ada perdebatan, konfrontasi dan wacana, sedangkan birokrasi kampus berupaya untuk menghilangkan tradisi tersebut, karena jika tradisi itu hidup maka akan menjadi ancaman bagi oligarki kekuasaan. Sistem pendidikan yang tidak membebaskan dan bias kelas.

Kampus sebagai bagian dari otonomi negara, tidak bisa menghindar dari kepentingan ekonomi-politik pemerintah yang berkuasa. Maka kapitalisasi kampus adalah salah satu buah hasil gerakan kontra-revolusi paska-peristiwa 65, dimana pendidikan menjadi komersialisasi, kurikulum yang bias kelas, mahasiswa menjadi sapi perah dan tradisi intelektual yang mengarah ke pembebasan sosial untuk kaum yang bawah yang tertindas dan tersubordinasi dibuat senyap. Maka pendidikan kaum tertindas sebagaimana yang dilontarkan Paulo Freire (2011) yaitu pendidikan sebagai piranti yang memerdekan dan menjadi alat perjuangan melawan penindasan dalam relasi yang timpang, akan sulit terwujud dalam konteks berkuasanya oligarki dipemerintahan Indonesia saat ini. 

Melihat keadaan tersebut, berharap bahwa semua mahasiswa memiliki tradisi intelektual yang mengarah ke pembebasan sosial yang memiliki partisipasi dan antusias yang besar. seharusnya dengan iklim kebebasan dan demokrasi kita menjadikan lembaga-lembaga semakin baik.

Pengetahuan dan intelektualisme bisa menjadikan pisau analisis dan pembedah untuk melihat segala peta persoalan hingga tradisi intelektual organik bisa membawa perjuangan emansipasif membuat imajinasi perlawanan mereka bersifat progresif dan revolusioner.

Selamatkan Demokrasi Kampus Dari Cengkraman Birokrasi!

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl