Pontianak,Media Jurnal Investigasi- Setengah langkah mundur dari realitas, kita dihadapkan pada sebuah paradoks yang berkilau namun pahit, layaknya emas tambang yang terpendam namun tercemar oleh kerak nafsu. Di era di mana sumber daya alam dan kepercayaan publik seharusnya menjadi pondasi kemajuan, nyatanya banyak kegiatan usaha malah menjadi bayang-bayang yang menyelinap dalam lorong-lorong gelap penyalahgunaan.
*Penyalahgunaan BBM Subsidi*—adalah laksana air suci yang dipergunakan untuk membasahi ladang kering, namun disedot untuk mengisi kolam hitam yang berisi nafsu konsumtif. Dalam konteks hukum, hal ini jelas melanggar Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, khususnya Pasal 55 dan 56 KUHP yang menjerat tindak pidana korupsi dan penyalahgunaan wewenang. BBM subsidi seharusnya menjadi hak rakyat kecil, bukan ladang subur bagi kartel dan mafia bisnis.
Begitu pula *perdagangan emas tambang ilegal*, yang bagaikan kilauan palsu yang memukau namun membakar akar bumi. Di balik gemerlapnya logam mulia tersebut tersembunyi luka lingkungan dan kerusakan sosial yang mendalam. Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara secara tegas melarang eksploitasi tanpa izin resmi, namun celah hukum dan lemahnya pengawasan menjadikan emas tersebut lebih mudah berpindah ke tangan yang salah.
*Penyalahgunaan jabatan*, yang sebenarnya adalah kepercayaan suci dari rakyat, kini berubah menjadi alat kelabu yang memperkaya segelintir elite. Sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, setiap tindakan melanggar keadilan dan transparansi adalah sebuah pengkhianatan terhadap amanah.
Dunia ini bagai sebuah hamparan cermin retak; usaha dan niat baik sering terpecah oleh tangan-tangan gelap yang ingin menikmati hasil tanpa bekerja keras. Namun, dalam filosofi dunia, sebagaimana kata Lao Tzu, "Sebuah perjalanan ribuan mil dimulai dari satu langkah kecil." Langkah kecil itu adalah kesadaran dan penegakan hukum yang adil, agar jangan sampai kaca retak itu makin melebar dan menghancurkan kepercayaan masyarakat.
Media online, dengan kekuatan jangkauannya yang luas, menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, ia mampu membuka tabir penyalahgunaan ini kepada publik, namun di sisi lain, bila tidak dikelola dengan integritas, ia juga bisa menjadi sarang propaganda yang memperkeruh suasana. Oleh karena itu, penting bagi setiap insan digital untuk mengedepankan verifikasi dan etika jurnalistik demi menjaga keseimbangan informasi.
*Penutupnya, kita diingatkan bahwa penyalahgunaan bukanlah sebuah kebetulan; ia adalah buah dari sistem yang retak dan niat yang tereduksi. Untuk memetik keadilan yang hakiki, perlu sebuah revolusi etis yang dimulai dari setiap individu dan ditegakkan dengan hukum yang tak pandang bulu.*
TIM/ M.SUPANDI.