Jelajahi

Kategori
Best Viral Premium Blogger TemplatesPremium By Raushan Design With Shroff Templates
{{ date }}
{{ time }}
DIGITAL CLOCK with Vue.js

Absensi Jadi Alasan, Kebijakan SMP Fordata Dituding Menghancurkan Masa Depan Anak

MALUKU - JURNALINVESTIGASI
26 September 2025
Last Updated 2025-09-26T12:40:01Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates


Saumlaki, Jurnalinvestigasi.com – Keputusan mengejutkan Plt. Kepala Sekolah SMP Negeri 2 Fordata, Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Maluku, yang menahan kenaikan kelas delapan siswa hanya karena alasan absensi, kini menjadi sorotan publik. 


Kebijakan ini bukan sekadar kontroversial, melainkan dinilai sebagai langkah berbahaya yang dapat memicu ledakan angka putus sekolah di daerah kepulauan yang tengah berjuang melawan keterbatasan akses pendidikan.


Para pemerhati pendidikan mengingatkan, menjadikan absensi sebagai satu-satunya dasar keputusan merupakan tindakan gegabah. 


Regulasi pendidikan nasional, termasuk Permendikbud No. 53 Tahun 2015 dan Permendikbud No. 23 Tahun 2016, secara jelas menekankan bahwa kenaikan kelas harus diputuskan dengan mempertimbangkan berbagai aspek demi menyelamatkan masa depan generasi bangsa.


Ironisnya, kasus ini tidak berhenti pada masalah absensi semata. Dugaan praktik pungutan liar (pungli) ikut mencuat, menambah kelam wajah SMP Negeri 2 Fordata. 


Beredar informasi adanya pungutan uang dan kewajiban menyediakan kursi bagi siswa pindahan maupun yang terlambat masuk sekolah. Dalih bahwa hal itu hasil kesepakatan komite sekolah dianggap tidak sah dan berpotensi melanggar aturan hukum.


Padahal, Permendikbud No. 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah menegaskan komite sama sekali tidak boleh melakukan pungutan dalam bentuk apa pun kepada peserta didik maupun orang tua/wali. 


Hal itu juga ditegaskan dalam Pasal 11 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), yang menjamin hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan tanpa diskriminasi dan tanpa jeratan pungutan liar.


Pemerhati pendidikan menilai, kebijakan yang diambil pihak sekolah justru mengkhianati upaya pemerintah menekan angka putus sekolah di daerah 3T. 


Dampak dari keputusan semacam ini bisa sangat mengerikan: motivasi belajar siswa runtuh, beban ekonomi orang tua semakin berat, dan risiko anak-anak berhenti sekolah kian nyata.


Dalam konteks Kurikulum Merdeka, kebijakan tidak naik kelas semestinya menjadi opsi paling terakhir. Sekolah seharusnya menempuh berbagai langkah penyelamatan, mulai dari pendampingan tambahan, layanan konseling, hingga pembelajaran terdiferensiasi. 


Pendekatan inilah yang mestinya menolong siswa tanpa menjatuhkan mereka ke jurang trauma psikologis maupun stigma sosial.


Suara keras juga datang dari Petrus Liwurngorwaan, pemuda asal Desa Sofyanin sekaligus anggota Ormas Pemuda Pancasila Kabupaten Bogor.


“Sekolah wajib memaksimalkan pembinaan, pendampingan, dan layanan konseling. Keputusan tidak naik kelas seharusnya menjadi opsi terakhir, bukan jalan pintas yang justru merugikan masa depan anak,” ujarnya dengan nada tegas.


Lebih jauh, Petrus menegaskan bahwa dalam kerangka Kurikulum Merdeka, sistem tinggal kelas otomatis sudah tidak berlaku. Keputusan kenaikan kelas semestinya hanya ditentukan oleh capaian kompetensi siswa, remedial, serta perkembangan karakter. 


Ia menegaskan, kebijakan SMP Negeri 2 Fordata bertolak belakang dengan arah kebijakan nasional yang menempatkan kepentingan peserta didik sebagai prioritas utama.


Tak hanya itu, Petrus juga menyoroti fakta sensitif bahwa SMP Negeri 2 Fordata menampung siswa dari Desa Walerang dan Desa Sofyanin. 


Jika benar seluruh delapan siswa yang gagal naik kelas berasal dari Desa Sofyanin, ia memperingatkan adanya potensi diskriminasi berbau rasisme.


“Hal ini perlu diwaspadai agar dunia pendidikan tidak tercoreng oleh praktik yang berbau rasisme. Sekolah harus berdiri di atas prinsip keadilan dan inklusivitas, bukan sebaliknya,” tegasnya.


Situasi ini membuat banyak pihak mendesak adanya evaluasi serius terhadap kepemimpinan Plt. Kepala Sekolah SMP Negeri 2 Fordata. 


Petrus bahkan menyerukan agar Bupati Kepulauan Tanimbar hingga pemerintah pusat segera turun tangan, sebelum masalah ini berkembang menjadi luka sosial yang merusak wajah pendidikan daerah.


Kasus ini kini dipandang sebagai alarm nasional. Dunia pendidikan di Tanimbar seolah sedang berdiri di tepi jurang. 


Jika tidak segera diselamatkan, kebijakan seperti ini bukan hanya memutus masa depan delapan siswa, melainkan bisa menyeret seluruh generasi muda kepulauan ke dalam lingkaran gelap kebodohan, diskriminasi, dan ketertinggalan. (*)

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl