Saumlaki, Jurnalinvestigasi.com – Seorang anggota Polri inisial GL melakukan tindakan penipuan cinta terhadap seorang perempuan asal Seira berinisial YI. Peristiwa ini berawal dari perkenalan lewat media sosial hingga berujung pada hubungan tidak sehat yang membuat korban mengalami trauma.
Kejadian bermula pada 17 April 2024, saat korban menerima pesan melalui akun Instagram dari terlapor yang mengajaknya berkenalan. Dari komunikasi tersebut, hubungan mereka semakin intens hingga akhirnya berlanjut ke pertemuan langsung.
Pada 26 Mei 2024, terlapor datang ke rumah korban di kawasan BTN Saumlaki. Ia kemudian mengajak korban berjalan-jalan ke Pelabuhan Pasar Lama dan duduk berdua di talit pengiringan. Dari momen itu, hubungan keduanya semakin dekat.
Korban menjelaskan bahwa pada 10 Juni 2024 sekitar pukul 20.00 WIT, terlapor kembali mendatangi rumahnya. Ia lalu mengajak korban ke Pelabuhan Pasar Omele dan menyatakan perasaan cintanya.
“Terlapor memeluk dan mencium saya, saat itu saya sempat menolak tetapi karena terlapor marah dan mengancam akan meninggalkan saya di pelabuhan, akhirnya saya mengikuti kemauan terlapor melampiaskan nafsu bejatnya kepada saya,” ungkap korban dalam laporannya.
Seiring waktu, hubungan itu diketahui oleh keluarga korban. Pada 14 Juni 2024, terlapor datang ke rumah korban saat keluarga sedang berada di sana. Karena menganggap terlapor serius, orang tua korban mengizinkan keduanya untuk keluar bersama.
Namun, korban menuturkan bahwa kepercayaan keluarganya justru disalahgunakan.
“Terlapor sudah sering mengajak saya melakukan hubungan layaknya suami istri dan sering mengajak saya tidur di penginapan Seira di BTN dan Hotel Galaxy,” kata korban.
Situasi semakin memanas ketika pada 28 Maret 2025, korban memutuskan hubungan. Meski demikian, demi menjaga harga diri yang sudah terlanjur tercoreng, korban kembali melanjutkan hubungan itu.
“Terlapor meminta saya waktu untuk menyudahi hubungannya dengan perempuan yang baru menjadi pacarnya, dan saya memberikan kesempatan,” jelas korban. Namun, kenyataannya berbeda. Pada 8 April 2025, terlapor berangkat ke Ambon dan justru memblokir komunikasi korban di media sosial.
Merasa dibohongi, korban kemudian mencari jalan penyelesaian. Ia mendatangi Polres Kepulauan Tanimbar pada 3 dan 8 Agustus 2025 untuk melaporkan kejadian tersebut. Saat itu, persoalan sempat diselesaikan secara kekeluargaan dengan jalur adat, tetapi terlapor dinilai tidak memiliki itikad baik.
Korban mengaku mengalami trauma mendalam akibat perbuatan terlapor. “Saya telah tergoda oleh janji-janji manis terlapor bahwa akan mengawini saya, tetapi kenyataannya saya hanya diperalat dan menjadi korban,” tulisnya dalam surat pengaduan kepada Kapolres Kepulauan Tanimbar.
Kasus dugaan penipuan perkawinan ini bukan hanya merugikan korban secara psikologis, tetapi juga mencederai kepercayaan keluarga besar yang sejak awal yakin terlapor tidak akan mengkhianati. Rasa malu dan beban sosial kini ditanggung korban dan keluarganya.
Hingga saat ini, pihak korban telah melayangkan laporan resmi kepada Kapolres Kepulauan Tanimbar untuk menindaklanjuti dugaan perbuatan tidak terpuji tersebut. Mereka berharap kepolisian dapat menegakkan hukum secara adil tanpa pandang bulu.
Tindakan terlapor bisa masuk dalam ranah pelanggaran etik anggota Polri serta berpotensi mencederai martabat institusi kepolisian. Aparat penegak hukum dituntut memberi contoh baik di tengah masyarakat, bukan justru memperdaya warga dengan janji kawin palsu.
Kasus ini juga menyoroti pentingnya penegakan hukum terhadap dugaan pelanggaran oleh aparat negara. Keluarga korban menekankan agar proses hukum tetap berjalan meski sebelumnya pernah ditempuh jalur adat.
Masyarakat berharap kepolisian segera menindak tegas setiap anggota yang diduga melakukan pelanggaran, agar kepercayaan publik terhadap institusi Polri tetap terjaga. (*)