Saumlaki, Jurnalinvestigasi.com - Langkah kaki para ibu rumah tangga di Pasar Omele, terdengar lebih berat dari biasanya. Harga beberapa kebutuhan pokok merangkak naik, pendapatan nelayan berkurang, sementara pembahasan APBD 2026 tersendat hingga penghujung tahun. Kekhawatiran menyebar pelan namun pasti: “Katong Tanimbar ini mulai susah… tahun depan bagaimana?”
Tim liputan menelusuri dokumen resmi BPS, data anggaran, serta kesaksian warga untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang muncul di setiap sudut pasar dan dermaga: apakah Tanimbar sedang memasuki fase penderitaan sosial-ekonomi baru?
Data publikasi resmi BPS menunjukkan bahwa 23,66% penduduk Kabupaten Kepulauan Tanimbar hidup dalam kemiskinan per 30 November 2024, menjadikannya salah satu daerah dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Maluku . Namun angka ini hanya menggambarkan kondisi makro. Ketika dikaitkan dengan keterlambatan APBD 2026 dan melemahnya pendapatan masyarakat pesisir, muncul tanda-tanda kerentanan yang tidak terekam dalam statistik resmi.
Investigasi ini mengurai celah antara data publik dan kenyataan sosial yang dialami rumah tangga rentan di kabupaten kepulauan tersebut.
KRONOLOGI AWAL MASALAH
Dokumen internal pembahasan anggaran (yang sedang diverifikasi tim liputan) menunjukkan APBD 2026 baru memasuki tahap penyesuaian pada akhir November 2025. Beberapa agenda pembahasan molor dari jadwal normal, menyebabkan kekhawatiran bahwa anggaran tidak akan siap pada awal tahun.
Seorang anggota legislatif, E, mengatakan:
“Kalau APBD lambat, bukan hanya pembangunan yang berhenti. Distribusi pangan dan bantuan ke masyarakat bisa terhenti. Untuk wilayah kepulauan, itu sangat berbahaya.” ungkapnya.
Pernyataan ini diperkuat oleh kesaksian staf teknis yang juga meminta penyamaran identitas.
TEMUAN LAPANGAN
Pantauan tim liputan pada November–Desember 2025 menunjukkan sejumlah gejala kerentanan:
1. Konsumsi pangan memburuk
Ibu-ibu di Saumlaki menyebut mereka kini memasak lebih banyak kuah dan mengurangi lauk protein hewani.
2. Siswa datang tanpa sarapan
Guru-guru SD yang ditemui mengonfirmasi peningkatan jumlah anak yang tiba di sekolah dalam keadaan lapar.
3. Nelayan pulang dengan pendapatan menurun
Tangkapan ikan lebih sedikit, sementara harga solar tetap tinggi, membuat pendapatan harian berkurang.
4. Utang rumah tangga bertambah
Kios dan warung mencatat daftar utang yang semakin panjang, tanda melemahnya kemampuan membeli pangan harian.
Temuan ini telah dicek silang kepada beberapa warga dari desa berbeda.
TEMUAN DOKUMEN RESMI
Menurut publikasi Kabupaten Kepulauan Tanimbar Dalam Angka 2024, populasi kabupaten tercatat sekitar 131,37 ribu jiwa . Dengan persentase kemiskinan 23,66%, berarti lebih dari 30 ribu jiwa berada dalam kondisi miskin secara struktural (mengacu pada standar garis kemiskinan nasional) .
Publikasi BPS juga menunjukkan bahwa meski kemiskinan menurun dibanding satu dekade lalu, ketergantungan ekonomi masyarakat masih tinggi pada: sektor tangkap laut, pertanian skala kecil, dan perputaran barang di kota Saumlaki.
Struktur perekonomian ini membuat Tanimbar sangat sensitif terhadap gangguan pasokan pangan dan keterlambatan kebijakan.
KETIDAKMERATAAN DISTRIBUSI ANTAR-PULAU
Walau data resmi menunjukkan kondisi stok pangan di kota utama cukup stabil, distribusi ke pulau kecil seperti Selaru, Seira, dan Fordata tidak tercatat dalam publikasi statistik nasional dan di sinilah investigasi lapangan menemukan celah: Jadwal kapal sering terlambat, Pasokan beras lebih cepat habis di desa terpencil, Warga bergantung pada kios kecil dengan harga lebih tinggi.
Seorang warga Wulmasa, L, mengatakan:
“Di kampung, kalau kapal terlambat, harga naik. Tapi katong tetap harus makan.”
Kesaksian ini konsisten dengan laporan tokoh masyarakat dari dua pulau berbeda.
JEJARING AKTOR & POLA
Keterlambatan APBD menimbulkan dampak berantai pada rantai ekonomi di Tanimbar:
- Eksekutif: terlambat menyerahkan dokumen final.
- Legislatif: pembahasan mundur akibat perubahan jadwal.
- Badan Keuangan: tidak dapat mengeksekusi program sebelum APBD disahkan.
- Distributor pangan: menunda pengiriman ke pulau kecil karena subsidi transport belum cair.
- Masyarakat desa: menerima dampak paling awal dan paling nyata.
Tidak ditemukan indikasi penyimpangan dalam temuan awal, namun kegagalan koordinasi menjadi titik kritis dalam investigasi ini.
ANALISIS AHLI
Seorang analis ekonomi kawasan timur Indonesia, A, menjelaskan kepada wartawan:
“Untuk daerah kepulauan, keterlambatan APBD bisa mengganggu logistik. Satu minggu saja terlambat, dampaknya terasa sampai ke konsumsi rumah tangga.”
Pernyataan ini konsisten dengan pola data BPS, dimana kabupaten-kabupaten kepulauan memiliki rasio kerentanan pangan lebih tinggi dibanding wilayah daratan. Data BPS Maluku juga menunjukkan rasio Gini Tanimbar berada pada level 0,253, menandakan distribusi pendapatan yang relatif timpang .
Tim liputan menghubungi pemerintah daerah untuk meminta klarifikasi.
Seorang pejabat pemerintahan, R, mengatakan:
“Tidak ada kelaparan di Tanimbar. Pemerintah mengendalikan situasi. Semua intervensi akan dijalankan begitu APBD disahkan.”
Tim liputan juga menghubungi Badan Keuangan Daerah dan Pimpinan DPRD.
Hingga laporan ini ditayangkan, permintaan klarifikasi tersebut belum dijawab.
DAMPAK PUBLIK
Menghubungkan data resmi dan temuan lapangan, terlihat potensi risiko yang signifikan:
- 1 dari 4 warga hidup dalam kemiskinan struktural (data resmi BPS).
- Keterlambatan APBD berpotensi menghambat program pangan dan bantuan awal tahun.
- Pendapatan nelayan-petani melemah, membuat rumah tangga rentan semakin tertekan.
- Distribusi antar pulau tidak merata, dengan pulau kecil paling terdampak.
Data resmi BPS memberikan gambaran makro, namun temuan lapangan menguatkan bahwa kelompok rentan berada di ambang tekanan ekonomi baru.
Berdasarkan data resmi, wawancara anonim, dan observasi lapangan, investigasi ini menyimpulkan bahwa Tanimbar belum berada dalam kondisi kelaparan, tetapi tanda-tanda penderitaan sosial-ekonomi baru mulai terlihat.
Jika keterlambatan anggaran berlanjut dan distribusi pangan tidak diperbaiki, Kabupaten Kepulauan Tanimbar berisiko memasuki fase kerentanan yang lebih dalam pada 2026 sebuah kondisi yang mungkin tidak tercatat dalam statistik resmi, namun terasa nyata di dapur rumah tangga dan di dermaga nelayan. (*)


