Cikarang – jmpdnews.com – Di tengah hiruk pikuk kehidupan beragama yang kerap dielu-elukan sebagai benteng moral, terselip ironi pahit yang menggugah nurani. Fenomena doa yang seharusnya menjadi sarana penyucian jiwa, kini justru direduksi menjadi “jimat” sebelum berbuat dosa.
Pertanyaan yang mengusik pun lahir: mengapa ada orang yang berdoa sebelum mencuri? Apakah doa kini bukan lagi permohonan ampun, melainkan sekadar peredam rasa bersalah sebelum merampas hak orang lain.
Tragedi moral ini begitu halus, namun terasa menyakitkan. Doa tidak lagi menjadi pengingat akan batas, melainkan pembenaran batin. Semacam ritual pembersih sebelum jiwa dikotori secara sadar. Mereka yang melakukannya sadar betul bahwa tindakannya salah, namun tetap nekat—seolah Tuhan bisa diajak kompromi dalam bisnis-bisnis kotor.
Ironi ini melahirkan wajah kesalehan palsu. Ritual-ritual religius dilakukan hanya sebagai topeng: menenangkan hati, menutupi kecemasan, dan memberi ilusi kesucian. Padahal, substansinya telah lama hilang. Kesalehan semu ini ibarat daun kering yang dibasahi air suci—tampak segar sejenak, namun cepat kembali layu.
Fenomena ini tidak hanya menyentil praktik individual, tetapi juga membuka cermin besar bagi masyarakat. Apakah kita sedang menyaksikan agama dijadikan “panggung drama,” tempat doa bukan lagi dialog tulus dengan Tuhan, melainkan dekorasi untuk menutupi kebusukan yang disengaja.
((Iyus Kastelo).