Bekasi,Media Jurnal Investigasi Pergantian Kapolres Metro Bekasi di penghujung 2025 berlangsung di tengah9 situasi yang belum sepenuhnya normal. Operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap Bupati Bekasi masih menyisakan guncangan psikologis di tubuh birokrasi daerah. Dalam konteks inilah penunjukan Kombes Pol Sumarni sebagai Kapolres Metro Bekasi patut dibaca secara lebih jernih dan kritis.
Secara hukum dan struktural, penugasan ini sah dan tidak bermasalah. Polres Metro Bekasi berada di bawah kendali Polri, sementara KPK adalah lembaga independen. Tidak ada relasi komando, tidak ada tumpang tindih kewenangan. Namun editorial ini menilai bahwa urusan penegakan hukum tidak berhenti pada legalitas semata. Etika kekuasaan dan persepsi publik adalah bagian tak terpisahkan dari kepercayaan terhadap institusi negara.
Fakta bahwa Kapolres Metro Bekasi merupakan istri Pelaksana Tugas Direktur Penyidikan KPK tidak dapat dihapus dari ruang publik. Hubungan ini, meski bersifat personal, hadir dalam momen sensitif pasca OTT kepala daerah. Jika tidak dikelola dengan transparansi dan kehati-hatian, ia berpotensi menimbulkan tafsir keliru, spekulasi, dan ketidaknyamanan birokrasi pemerintahan daerah.
Pemerintah Kabupaten Bekasi hari ini membutuhkan stabilitas hukum, bukan ketegangan baru. Aparatur sipil negara harus bekerja tanpa rasa takut yang berlebihan, namun tetap dalam koridor kepatuhan hukum. Polres Metro Bekasi, sebagai institusi penegak hukum umum, memiliki peran strategis menjaga keseimbangan itu: tegas terhadap pelanggaran, tetapi tidak menciptakan teror psikologis pasca OTT.
Editorial ini berpandangan bahwa justru di bawah sorotan publik yang kuat, independensi dan profesionalisme Polri diuji secara nyata. Kombes Pol Sumarni memikul tanggung jawab ganda: menjaga keamanan wilayah strategis dan sekaligus membuktikan bahwa relasi personal tidak memengaruhi penegakan hukum. Setiap kebijakan, setiap tindakan, dan setiap pernyataan publik akan menjadi indikator keberhasilan atau kegagalan ujian tersebut.
Di sisi lain, Pemerintah Kabupaten Bekasi harus menjadikan momentum ini sebagai titik balik pembenahan tata kelola. OTT bukan sekadar peristiwa hukum, melainkan peringatan keras tentang rapuhnya integritas kekuasaan daerah. Transparansi, kepatuhan prosedur, dan akuntabilitas harus menjadi sikap resmi, bukan sekadar jargon.
Akhirnya, publik berhak menuntut lebih dari sekadar pernyataan normatif. Kepercayaan tidak dibangun oleh jabatan, melainkan oleh konsistensi sikap. Bekasi kini menjadi cermin: apakah negara mampu menjaga jarak yang sehat antara kekuasaan, hukum, dan relasi personal. Jawaban atas pertanyaan itu akan ditentukan oleh tindakan, bukan kata-kata.
(Iyus Kastelo)


