![]() |
| Ilusrasi |
EDITORIAL,Di saat banjir dan longsor kembali melumpuhkan wilayah Sumatera dan Aceh, negara dihadapkan pada satu pertanyaan kebijakan yang tak bisa lagi dihindari apakah prioritas anggaran nasional sudah benar?
Bencana hidrometeorologi kali ini bukan sekadar genangan rutin. Rumah hanyut, lahan pertanian rusak, akses pendidikan dan kesehatan terputus. Negara membutuhkan anggaran darurat besar dan cepat, bukan sekadar bantuan simbolik.
Namun pada saat yang sama, pemerintah tetap menggelontorkan anggaran Makan Bergizi Gratis (MBG) dengan nilai yang diperkirakan mencapai sekitar Rp1 triliun per hari. Anggaran kolosal itu tetap mengalir, meski kebutuhan penyelamatan dan pemulihan bencana bersifat jauh lebih mendesak.
MBG sejak awal diklaim sebagai program strategis untuk memperbaiki kualitas gizi anak bangsa. Tujuannya mulia. Namun implementasi di lapangan mulai menimbulkan tanda tanya serius.
Dalam beberapa laporan media daerah dan nasional sepanjang 2024–2025, muncul kasus dugaan keracunan makanan pada siswa penerima MBG di sejumlah daerah. Gejalanya beragam mual, muntah, diare, bahkan harus dirawat di fasilitas kesehatan. Meski tidak berujung fatal, kasus ini menjadi alarm penting soal kualitas makanan dan pengawasan dapur penyedia.
makanan tiba dalam kondisi dingin dan tidak layak konsumsi, menu tidak sesuai standar gizi yang dijanjikan, hingga bahan makanan yang dipertanyakan kesegarannya.
Masalah ini menunjukkan satu hal rantai logistik MBG sangat rentan, apalagi jika dikelola oleh pihak ketiga tanpa pengawasan ketat dan sistem audit real time.
Dengan skema yang melibatkan ribuan dapur umum dan vendor lokal, MBG membuka ruang luas bagi praktik rente penunjukan dapur tanpa standar jelas potensi mark-up bahan pangan,
Dalam skema anggaran sebesar itu, kualitas berpotensi dikorbankan, sementara pengawasan tertinggal jauh. Yang seharusnya menjadi investasi sumber daya manusia justru berisiko berubah menjadi mesin distribusi uang ke segelintir oknum.
Ironisnya, semua itu terjadi ketika korban banjir dan longsor serta kekurangan makanan layak,bergantung pada dapur darurat yang dananya terbatas,dan hidup dalam ketidakpastian.
Presiden Prabowo Subianto memiliki kewenangan konstitusional untuk mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) guna mengalihkan anggaran dalam situasi darurat nasional. Pengalihan sementara dana MBG.
Sejarah menunjukkan, pemimpin dinilai bukan dari banyaknya program, melainkan dari keberanian mengubah arah saat keadaan menuntut. Persistensi menjalankan program besar di tengah bencana, apalagi ketika kualitasnya dipertanyakan, justru berisiko menciptakan ketidakadilan anggaran.
Korban bencana tidak membutuhkan wacana. Mereka membutuhkan makanan layak, tempat tinggal sementara, dan negara yang hadir sepenuhnya.
Dalam situasi seperti ini, akal sehat fiskal dan empati kemanusiaan harus mengalahkan simbolisme kebijakan.
Karena pada akhirnya, tidak ada program bergizi yang lebih penting daripada keselamatan warga negara itu sendiri.
(Penulis adalah M.Rachmat Saputra, Redaktur Pelaksana Media Jurnal Investigasi, Sekjen DPD KPK TIPIKOR Kabupaten Majalengka)


