Register F Dijatuhkan Diam-Diam, Wartawan Diusir, Amplop Uang Muncul: Alarm Negara Hukum "Bahaya" dari Lapas Kelas III Saumlaki |
![]() |
Saumlaki, Jurnalinvestigasi.com - Kekuasaan negara di balik tembok penjara kembali dipertanyakan. Di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas III Saumlaki, sanksi disiplin paling berat Register F diduga dijatuhkan tanpa prosedur yang dapat diuji secara terbuka. Sabtu, (20/12/2025).
Pada saat yang sama, wartawan yang menjalankan fungsi kontrol publik justru menghadapi pengusiran, disertai dugaan upaya pemberian uang. Rangkaian peristiwa ini memicu alarm serius tentang penyalahgunaan kewenangan, ancaman terhadap hak asasi warga binaan, dan kemerdekaan pers di Indonesia.
Serangkaian kejadian tersebut tidak lagi dipandang sebagai persoalan internal lembaga pemasyarakatan, melainkan indikasi krisis tata kelola kekuasaan negara. Penjatuhan Register F tanpa penjelasan terbuka, pemindahan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) tanpa dokumen resmi yang dapat diverifikasi, hingga tindakan yang dinilai menghambat kerja jurnalistik, membentuk satu pola yang mengkhawatirkan.
Pada Jumat, 19 Desember 2025, sejumlah wartawan mendatangi Lapas Kelas III Saumlaki untuk meminta klarifikasi terkait penjatuhan Register F terhadap seorang WBP. Klarifikasi yang diharapkan membuka ruang transparansi justru berubah menjadi situasi tegang.
Dalam pertemuan tersebut, Kepala Lapas Kelas III Saumlaki, Ilham, mengaitkan kebijakan pemindahan WBP dengan potensi ancaman yang disebut dipicu oleh pemberitaan media. Pernyataan ini menempatkan kerja jurnalistik bukan sebagai fungsi kontrol publik, melainkan sebagai faktor risiko.
Ketika wartawan meminta penjelasan mengenai dasar hukum, tahapan pemeriksaan, sidang disiplin, serta keputusan tertulis yang melandasi penjatuhan Register F dan pemindahan WBP, keterangan substantif tidak disampaikan secara terbuka. Wawancara kemudian terputus oleh interupsi dari pegawai lain di luar agenda klarifikasi.
Dalam situasi tersebut, salah satu wartawan diduga menerima sebuah amplop dari Kepala Lapas yang belakangan diketahui berisi uang. Pemberian itu ditolak dan dikembalikan secara terbuka. Tidak lama setelah peristiwa tersebut, sejumlah wartawan diminta meninggalkan area Lapas Saumlaki.
Register F merupakan sanksi disiplin paling ekstrem dalam sistem pemasyarakatan, dengan konsekuensi pencabutan hampir seluruh hak dasar warga binaan, termasuk hak pembinaan dan integrasi sosial. Secara normatif, penjatuhan sanksi ini mensyaratkan pemeriksaan berjenjang, sidang disiplin, serta keputusan tertulis yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Hingga berita ini diterbitkan, belum terdapat penjelasan resmi mengenai jenis pelanggaran WBP, hasil pemeriksaan, maupun dasar hukum yang digunakan dalam penjatuhan sanksi tersebut.
“Kami menolak pemberian itu karena bertentangan dengan prinsip independensi pers dan etika jurnalistik,” ujar salah satu wartawan yang terlibat dalam proses konfirmasi.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menjamin kemerdekaan pers dan melarang segala bentuk penghambatan kerja jurnalistik. Pasal 18 ayat (1) mengatur sanksi pidana bagi setiap pihak yang dengan sengaja menghalangi tugas pers.
Di sisi lain, prinsip-prinsip pemasyarakatan menegaskan bahwa setiap tindakan disipliner wajib dilakukan secara transparan, proporsional, manusiawi, dan dapat diuji secara hukum. Ketertutupan informasi serta tindakan represif justru berpotensi melahirkan penyalahgunaan kewenangan.
Kasus ini memunculkan kekhawatiran luas di ruang publik. Jika sanksi terberat dapat dijatuhkan tanpa penjelasan, jika pemindahan WBP dilakukan tanpa dokumen yang dapat diuji, dan jika pers diperlakukan sebagai ancaman, maka fungsi kontrol publik berada dalam bahaya serius.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak Lapas Kelas III Saumlaki belum menyampaikan klarifikasi tertulis terkait dasar hukum penjatuhan Register F, pemindahan WBP, maupun insiden yang melibatkan awak media.
Publik mendesak Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Inspektorat Jenderal Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, Ombudsman Republik Indonesia, serta Dewan Pers untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh dan independen.
Kasus ini kini dipandang sebagai ujian nyata negara hukum: apakah kewenangan pemasyarakatan dijalankan dalam koridor hukum dan akuntabilitas, atau justru dibiarkan berkembang sebagai kekuasaan gelap di balik jeruji tanpa pengawasan publik. (*)


