Jelajahi

Kategori
Best Viral Premium Blogger TemplatesPremium By Raushan Design With Shroff Templates
{{ date }}
{{ time }}
DIGITAL CLOCK with Vue.js

Kuasa Hukum Terdakwa Bongkar Kejanggalan Sertifikat: Noch Sambouw Tantang ‘Mafia Tanah’ di Desa Sea

Jaino Maliki
01 Desember 2025
Last Updated 2025-12-01T08:47:11Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates

foto : Konfrensi Pers Bersama Kuasa Hukum Terdakwa, Noch Sambouw, S.H, M.H, CMC,.


Manado, Jurnal Investigasi - Sidang lanjutan perkara dugaan penyerobotan tanah di Kebun Tumpengan, Desa Sea, ditunda pelaksanaanya dikarenakan tidak hadirnya para saksi kunci. Penundaan ini bukan lagi sekadar persoalan administratif, melainkan mempertebal kecurigaan kuasa hukum terdakwa, Noch Sambouw, terhadap dugaan praktik mafia tanah yang disebut-sebut telah mengakar dalam proses penerbitan sertifikat kepemilikan.


Sambouw, yang sejak awal tampil ofensif, menyoroti absennya saksi korban Jimmy Wijaya dan Raisa Wijaya, beserta saksi ahli dari penyidik. Ia menegaskan bahwa ketidakhadiran ini bukan sesuatu yang bisa dianggap remeh. “Ada sanksi pidana bagi saksi korban yang mangkir setelah melapor,” kata Sambouw. Ia bahkan mendorong agar pengadilan mengeluarkan pemanggilan paksa demi membuka simpul-simpul kebenaran.


Menyerang Akar Masalah: Sertifikat ’Bodong’ Tahun 1995


Dalam ulasannya di luar persidangan, Sambouw membedah serangkaian kejanggalan yang menurutnya telah mencemari proses penerbitan Hak Milik tahun 1995 yang menjadi dasar klaim para pelapor. Ia menyoroti transisi SHM 1995 ke HGB No. 3320, 3036, dan 3037 yang kemudian dijadikan legitimasi kepemilikan oleh Jimmy Wijaya.


Dua fakta krusial dibeberkan:


1. Ahli BPN mengakui kelemahan metode pengukuran tahun 1990-an, yang hanya mengandalkan titik GPS tanpa batas tanah yang jelas.


2. Mantan Hukum Tua Desa Sea, Johan Pontororing, menegaskan tidak pernah ada dokumen atau pengukuran dari Desa Sea untuk SHM 1995.


Keterangan ini membuat Sambouw mengambil kesimpulan keras: penerbitan SHM tersebut berasal dari Desa Malalayang Dua dan dilakukan dengan prosedur yang menyalahi aturan. Tanpa tedeng aling-aling, ia menyebutnya “produk hukum bodong”.


“Ini hanya bisa dilakukan oleh mafia tanah,” tegasnya. Ia merinci bahwa SHM itu ditebitkan atas dalih pemohon tergolong “ekonomi lemah”, padahal justru memiliki perusahaan berbadan hukum. “Ini penyelundupan hukum,” ujarnya.


Narasi Akar Sengketa: Hak Penggarap yang Terabaikan


Sambouw kemudian memaparkan sejarah panjang tanah ini. Menurutnya, lahan Kebun Tumpengan termasuk eks Hak Guna Usaha masa kolonial. Berdasarkan Keppres No. 32/1979, lahan eks HGU yang telah digarap rakyat sebelum masa konsesinya berakhir seharusnya diprioritaskan kepada penggarap.


“Sejak tahun 1960-an hingga 1992 locus ini sudah dikuasai warga. Kenapa tahun 1995 tiba-tiba muncul SHM atas nama orang lain?” tanya Sambouw, menuding adanya pembelokan hukum yang sistematis dan terencana.


Ia juga menyinggung rekam jejak pelapor, Jimmy Wijaya, yang pada 1999 pernah dilaporkan dalam kasus serupa tetapi kemudian dibebaskan.


Menggugat PPJB 2015: Transaksi yang Disebutnya ‘Anehnya Keterlaluan


Sambouw menyoroti transaksi PPJB tahun 2015 antara Mumu CS dan Jimmy Wijaya yang dilakukan di Jakarta. Ia menyebutnya cacat prosedur karena objek tanah masih dalam penguasaan warga dan seharusnya transaksi dilakukan di kabupaten/kota lokasi tanah berada. Tak hanya itu, keberadaan klausul “kuasa menjual” dianggap melanggar regulasi. “PPAT seharusnya menolak jika objeknya sedang disengketakan,” kritiknya.


Ganti Rugi Ringroad 3: “Apakah Ini Konspirasi?”


Pernyataan Sambouw memuncak ketika ia menyinggung fakta bahwa Jimmy Wijaya sudah menerima ganti rugi pembebasan lahan Ringroad 3, sementara sengketa masih berjalan bahkan sampai ke PTUN.


“Ini hal yang sangat memprihatinkan. Proses sengketa belum selesai, tapi sudah terima duit negara. Ada konspirasi?” katanya sambil menatap para jurnalis.


Ajakan Melawan Mafia Tanah :


Di hadapan wartawan, Sambouw mengajak pers untuk bersikap kritis dan memihak pada masyarakat kecil yang berpotensi menjadi korban “sistem yang rusak”. Ia menegaskan bahwa tugas jurnalisme bukan tunduk pada kekuasaan, melainkan mengawal kepentingan publik.


Ia bahkan menantang balik kuasa hukum Jimmy Wijaya untuk membuktikan bahwa proses balik nama dan penerbitan sertifikat tidak melanggar hukum. “Silakan klarifikasi pasal per pasal,” ujarnya.


Sidang yang tertunda kali ini semakin menguak lapisan-lapisan gelap dari dugaan rekayasa hukum, sertifikat bermasalah, hingga transaksi yang dianggap mencurigakan. Dengan serangan argumentatif dari Noch Sambouw, sorotan kini bergeser dari para terdakwa menuju keabsahan dokumen dan proses hukum yang melibatkan para pelapor.


(Jay)

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl