Saumlaki, Jurnalinvestigasi.com - Sengketa Lahan Lapas Saumlaki Memasuki Sidang Penentu Sengketa kepemilikan lahan pembangunan Lapas Kelas III Saumlaki kembali diuji di Pengadilan Negeri Saumlaki setelah bergulir lebih dari 18 tahun. Perkara ini menyoroti dugaan belum tuntasnya pembayaran ganti rugi atas lahan milik warga di Desa Lauran. Persidangan kini memasuki tahap penegasan kehadiran para tergugat.
Gugatan perdata Nomor 54/Pdt.G/2025/PN SML diajukan pemilik lahan terhadap Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kanwil Kemenkumham Maluku, serta Kalapas Kelas III Saumlaki. Penggugat menilai pembayaran ganti rugi atas lahan seluas 20.000 meter persegi belum diselesaikan meski fasilitas pemasyarakatan telah dibangun dan beroperasi.
2006–2007 Pihak Lapas meminta persetujuan penggunaan lahan dan dilakukan kesepakatan awal jual beli dengan nilai Rp300–400 juta. Dokumen pelepasan hak masih ditahan pemilik hingga pembayaran dilakukan.
2007–2013 Pembangunan Lapas berjalan hingga peresmian, sementara menurut penggugat pembayaran tidak terealisasi. Pada 2013 BPN menerbitkan sertifikat hak pakai atas nama negara.
2021 Pemilik lahan baru mengetahui penerbitan sertifikat setelah konsultasi dengan notaris. Dokumen dasar lahan masih berada pada pemilik, sehingga muncul pertanyaan mengenai prosedur pengukuran dan verifikasi.
2021–2025 Somasi dikirim kepada Kemenkumham, Kanwil, dan Kalapas. Menurut kuasa hukum, sertifikat dinyatakan ditangguhkan, tetapi pembayaran belum dipenuhi.
4 Desember 2025 Sidang pertama digelar. BPN hadir, namun sebagian tergugat tidak hadir.
11 Desember 2025 Sidang kedua berlangsung. Pihak Lapas menyatakan belum menerima panggilan, sementara data pengiriman menunjukkan surat telah dikirim 5 Desember. BPN dan Kepala Desa Lauran hadir.
18 Desember 2025 Majelis hakim menjadwalkan sidang ketiga sebagai kesempatan terakhir bagi para tergugat untuk hadir sebelum memasuki tahapan pembuktian.
Sengketa bermula dari perbedaan tafsir mengenai kesepakatan awal penggunaan tanah serta proses administratif penerbitan sertifikat hak pakai. Pemilik lahan menyatakan tidak pernah memberikan pelepasan hak secara resmi. Di sisi lain, pembangunan fasilitas negara telah berlangsung tanpa penyelesaian ganti rugi sebagaimana dipersoalkan penggugat.
“Klien kami sejak awal mendukung pembangunan negara, tetapi pembayaran ganti rugi yang menjadi kewajiban pihak terkait tidak pernah direalisasikan,” ujar Kilyon Luturmas, kuasa hukum pemilik lahan.
“Proses pengukuran dan penerbitan sertifikat seharusnya dilakukan dengan persetujuan pemilik. Fakta bahwa dokumen dasar masih berada pada klien kami menunjukkan adanya prosedur yang belum lengkap.”
DATA & REGULASI:
1. UUPA – UU No. 5 Tahun 1960
Pasal 19: Pengalihan hak wajib dengan persetujuan pemilik.
Pasal 20: Penetapan hak dan penerbitan sertifikat mengikuti prosedur formal.
2. PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
Pasal 10 ayat (1): Pengukuran harus diverifikasi pemilik lahan.
Pasal 12 ayat (2): BPN wajib menunda penerbitan jika terdapat keberatan.
3. UU No. 21 Tahun 2011 tentang BPN
Pasal 15(c): BPN memastikan pengukuran dan sertifikasi sesuai hukum.
Pasal 45: BPN dapat dimintai pertanggungjawaban atas kerugian akibat kesalahan administratif.
Kasus ini menyoroti pentingnya transparansi dan akurasi dalam pembebasan lahan untuk fasilitas negara, terutama di wilayah kepulauan yang memiliki sejarah sengketa agraria. Putusan perkara berpotensi menjadi acuan bagi proses pembebasan lahan di masa mendatang.
Hingga berita ini disusun, Kemenkumham, Kanwil Maluku, dan Kalapas Kelas III Saumlaki belum memberikan pernyataan resmi terkait substansi gugatan. Redaksi membuka ruang bagi klarifikasi lanjutan dari pihak-pihak tersebut.
Majelis hakim akan melanjutkan persidangan pada 18 Desember 2025 untuk memastikan kehadiran para tergugat serta membuka tahap pembuktian. Proses hukum masih berlangsung dan diharapkan memberikan kepastian serta keadilan bagi seluruh pihak. (Blasius)


