Saumlaki, Jurnalinvestigasi.com – Gelombang suara masyarakat di Tanimbar kini berubah menjadi desakan yang semakin keras. Warga menuntut pembongkaran “gurita gelap” yang mereka yakini telah mencengkeram ruang kekuasaan dan menggerogoti masa depan daerah. Seruan “tangkap otak besarnya” menjadi ungkapan moral yang mencerminkan kemarahan kolektif terhadap pola kekuasaan yang dinilai bekerja di balik layar.
Masyarakat menilai struktur kekuasaan itu telah menjulur ke banyak sektor politik, proyek, hukum, hingga birokrasi dan mengendalikan arah kebijakan tanpa terlihat. Mereka merasakan adanya kekuatan yang tak membutuhkan jabatan, tetapi mampu mengatur ritme keputusan di ruang tertutup. Kondisi itu dianggap sebagai ancaman serius terhadap keadilan dan kesejahteraan publik.
Ketidakpercayaan publik makin kuat karena berbagai kejanggalan yang berulang: laporan yang tiba-tiba melunak, proses hukum yang tersendat, serta janji pejabat yang lenyap sebelum terwujud. Semua itu mengerucut pada kesadaran bahwa persoalan di Tanimbar bukan hanya satu kasus, melainkan sebuah struktur kekuasaan yang dibangun rapi dan berjalan seperti organisme yang hidup sendiri.
Ibarat gurita ganas yang menjulur dari kegelapan laut, kekuasaan oligarki itu dinilai menguasai bisnis, menekan kebijakan, dan membungkam suara rakyat hingga tidak tersisa ruang yang benar-benar merdeka. Tentakelnya merayap ke berbagai bidang, membuat warga merasa dicekik perlahan tanpa suara.
Bagi banyak warga, kekuasaan di Tanimbar hanyalah mesin uang; sementara mereka yang hidup dalam kesulitan justru merasa tidak dianggap. Di tengah harga yang melambung dan akses hidup yang semakin sempit, para penguasa modal dipersepsikan memperketat belitan demi memastikan setiap keuntungan tetap mengalir ke kantong sendiri.
Beginilah wajah kekuasaan yang dinilai tak lagi mengenal nurani: gurita rakus yang terus membesar, menelan harapan rakyat satu per satu. Istilah “gurita gelap” pun lahir bukan dari teori, melainkan pengalaman bertahun-tahun menyaksikan peristiwa-peristiwa yang tak pernah diberi penjelasan jujur oleh mereka yang berwenang.
Warga mempertanyakan siapa sebenarnya yang menarik benang dari belakang, serta mengapa keputusan publik seolah lahir dari kesepakatan yang tak pernah diketahui rakyat. Cerita-cerita kecil yang berulang memperkuat kecurigaan itu dan membentuk gambaran tentang kekuatan tersembunyi yang sulit ditantang.
Di kampung-kampung, Duan Lolat banyak orang mulai berbicara dengan nada getir. Mereka merasa nama Tanimbar sedang digerogoti oleh tangan-tangan yang tak mau terlihat. Bahkan ibu rumah tangga yang selama ini lebih banyak diam kini mulai bertanya mengapa keadilan terasa seperti barang mewah, dan mengapa uang bisa membelokkan hukum seperti perahu yang dipaksa melawan arus.
Anak-anak muda yang dulu apatis kini ikut bersuara, baik dengan sinis maupun getir, namun semuanya mengarah pada satu titik: hilangnya kepercayaan pada sistem yang mestinya menjaga mereka. Masyarakat tidak lagi puas dengan jawaban formal; mereka ingin keberanian untuk membuka kotak hitam kekuasaan yang selama ini tak tersentuh.
Rasa takut yang dulu membuat orang memilih diam kini mulai retak. Mereka sadar bahwa diam lebih berbahaya daripada berbicara, karena diam memberi ruang bagi gurita gelap itu untuk tumbuh lebih kuat. Banyak warga mengakui bahwa yang mereka hadapi bukan individu, tetapi pola, sistem, dan kelicikan yang menyelinap di celah kelemahan hukum.
Setiap malam, warung kopi berubah menjadi ruang diskusi kecil tempat warga menyebut nama-nama, menyusun dugaan, dan mempertanyakan siapa “dalang” yang selama ini terlindungi bayang-bayang. Suara itu terus menguat seperti gelombang yang menunggu waktunya menerjang karang gelombang yang tak bisa dihentikan dengan ancaman, intimidasi, atau permainan politik.
Bagi warga, yang dipertaruhkan bukan sekadar proyek, jabatan, atau perjalanan seorang pejabat, tetapi harga diri Tanimbar dan masa depan generasi yang akan mewarisi tanah ini. Dan ketika suara itu menyatu, tuntutan yang menggema dari banyak penjuru hanya satu: bongkar gurita gelap itu sebelum ia menelan Tanimbar sepenuhnya, sebelum semuanya terlambat, sebelum kendali atas daerah ini benar-benar hilang.
SIKAP RESMI REDAKSI
Redaksi menegaskan bahwa pembongkaran jaringan kekuasaan gelap di Tanimbar merupakan keharusan moral dan politik. Tanpa keberanian aparat untuk menelusuri akar-akar kekuatan yang beroperasi dalam bayang-bayang, Tanimbar akan terus berada dalam lingkaran gelap yang merusak keadilan, demokrasi, dan masa depan generasi berikutnya.
Redaksi berpihak pada transparansi, supremasi hukum, dan keberanian publik untuk menuntut kebenaran.
Redaksi – Media Jurnal Investigasi


