Maluku, Jurnalinvestigasi.com - Henrikus Serin, mantan Ketua Panwaslu Maluku Tenggara Barat, mengungkapkan sejumlah pelanggaran yang dilakukan oleh Christian Matruty, S. Sos, Ketua KPU setempat, terkait pemindahan 40 kotak suara.
Menurutnya, pemindahan kotak suara dari Selaru ke Saumlaki dilakukan untuk keperluan rekapitulasi di kantor KPUD Tanimbar, namun selanjutnya kotak suara tersebut dikembalikan lagi ke desa Adaut, yang merupakan ibu kota kecamatan, untuk rekapitulasi kecamatan, tindakan yang dianggapnya tidak sesuai prosedur.
Pada rapat koordinasi (Rakor) yang diselenggarakan oleh KPU pada Selasa (30/11/2024), dengan lima pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Tanimbar, Serin menyatakan bahwa terdapat kesalahan besar. Pasalnya, peti suara yang belum direkapitulasi sudah dipindahkan dari desa Adaut, di kecamatan Selaru, ke Saumlaki.
Meskipun 40 kotak suara sudah berada di kantor KPUD, Rakor dilaksanakan setelah pemindahan tersebut. "Karena ini merupakan tindakan yang melanggar prosedur, saya tidak mau menandatangani Berita Acara Rakor," ungkap Serin.
Serin menekankan bahwa KPU telah melakukan kesalahan serius dengan tidak berpegang pada aturan.
Ia menjelaskan bahwa informasi dari Polres dan PJ Bupati Tanimbar mengenai potensi konflik dan kekacauan saat rekapitulasi tingkat kecamatan di desa Adaut tidak relevan dan tidak seharusnya dijadikan alasan untuk pemindahan kotak suara yang belum direkap. Faktanya, ia menegaskan bahwa desa Adaut dalam keadaan aman tanpa potensi kerusuhan atau kekacauan.
Menurut PKPU Nomor 2 Tahun 2024 tentang Tahapan dan Jadwal Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota, KPU Tanimbar diberikan otoritas untuk menyelenggarakan pemilihan. Khususnya, pada pasal 2 ayat 2, disebutkan bahwa dalam penyelenggaraan pemilihan, penyelenggara harus memenuhi prinsip-prinsip seperti mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, profesional, akuntabel, efektif, efisien, dan aksesibel. KPU Tanimbar seharusnya dapat membuat keputusan secara mandiri.
Mereka harus memverifikasi informasi dengan turun langsung ke desa Adaut, kecamatan Selaru, untuk menguji kebenaran kondisi aktual sebelum memutuskan untuk memindahkan 40 kotak suara, yang merupakan dokumen negara.
Serin menekankan bahwa informasi dari lembaga eksternal tidak seharusnya digunakan sebagai dasar untuk memindahkan kotak suara yang belum direkap dari kecamatan ke kabupaten, apalagi dengan mengembalikannya ke Selaru tanpa pengawasan dari saksi pasangan calon gubernur, wakil gubernur, dan bupati, serta wakil bupati.
Tindakan seperti ini tidak hanya mengancam integritas proses demokrasi yang sedang berlangsung, tetapi juga menciptakan keraguan di kalangan para pemilih mengenai keadilan dan kredibilitas pemilihan. Pemindahan lokasi rekapitulasi di tingkat kecamatan atau Pelaksanaan Suara Ulang (PSU) hanya diperbolehkan dalam situasi luar biasa, seperti kerusuhan atau bencana alam, tegas mantan Ketua Panwaslu MTB.
Dengan segala pertimbangan dan aturan yang ada, jelas bahwa keputusan ini tidak hanya melanggar norma yang ada, tetapi juga bisa menimbulkan ketidakpuasan di kalangan masyarakat dan menodai proses pemilihan yang diharapkan berlangsung dengan transparan dan akuntabel. (NFB)