Saumlaki, Jurnalinvestigasi.com –Keresahan melanda ratusan anak muda Tanimbar yang telah lama mengabdi sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Paruh Waktu.
Sebanyak 592 PPPK Paruh Waktu harus menelan kekecewaan setelah perjuangan mereka untuk diakomodir dalam data Badan Kepegawaian Negara (BKN) kandas.
Kekecewaan ini muncul lantaran Bupati Kepulauan Tanimbar Ricky Jauwerissa menolak pengusulan nama-nama tersebut dengan alasan keterbatasan kemampuan keuangan daerah, dan memilih untuk memprioritaskan pembayaran utang pihak ketiga.
Keputusan itu menimbulkan polemik di tengah kondisi daerah yang saat ini masih menghadapi tingkat kemiskinan ekstrem dan minimnya lapangan kerja bagi masyarakat lokal.
“Saya menilai hari ini bahwa, kami anak-anak Tanimbar ini dijadikan sebagai korban untuk kepentingan kapitalisme. Salah satunya adalah kami ini mengabdi untuk pemerintah daerah puluhan tahun tapi kami tidak diakomodir sebagai PPPK Paruh Waktu karena kepentingan pengusaha konglomerat di Tanimbar, bayar utang pihak ketiga ratusan miliar,” ungkap Gatot, salah satu tenaga PPPK Paruh Waktu, Sabtu (4/10/2025).
Menurut Gatot, kebijakan pemerintah daerah tersebut tidak hanya merugikan tenaga PPPK, tetapi juga menciptakan ketegangan antara DPRD dan Pemerintah Daerah. Ia menilai para tenaga PPPK seolah dijadikan tameng politik untuk memperkeruh hubungan dua lembaga tersebut.
“Ya, ini terbukti, karena setelah aksi demo kemarin kami bertemu dengan Bupati, beliau salahkan DPRD. Sebaliknya kami bertemu dalam rapat bersama DPRD, mereka bilang sudah usul ke kementerian. Padahal kalau menurut saya begini, eksekutif dan legislatif sudah berkelahi seperti begini menurut saya ini permainan enggo bersembunyi, tidak tahu siapa tipu siapa,” tambah Gatot dengan nada kesal.
Ia juga menyayangkan sikap Bupati Kepulauan Tanimbar yang, menurutnya, hanya menggunakan simbol-simbol adat Tanimbar tanpa memahami makna perjuangan di baliknya.
“Pakai pakaian adat Tanimbar itu harus sayang kami anak-anak ini, sebab kami mengabdi sekian lama untuk Tanimbar. Apa yang kita dapatkan? Omong kosong,” ucapnya dengan nada kecewa.
Menutup pernyataan, Gatot bilang Kebijakan Pemerintah Daerah Kepulauan Tanimbar ini dinilai sebagai bentuk ketidakpekaan terhadap nasib tenaga kerja lokal yang telah lama mengabdi.
Di tengah kondisi fiskal yang terbatas, publik berharap pemerintah mampu menyusun prioritas yang berpihak kepada rakyat kecil, bukan hanya pada kepentingan proyek besar atau pembayaran utang.
Kisah 592 PPPK Paruh Waktu Tanimbar bukan sekadar angka dalam daftar kepegawaian yang tertunda. Mereka adalah potret nyata dari perjuangan anak daerah yang selama ini menopang roda pemerintahan tanpa kepastian masa depan.
Ketika kemampuan keuangan daerah dijadikan alasan, publik bertanya: untuk siapa sebenarnya keuangan daerah itu digunakan rakyat atau kekuasaan?
Tanimbar hari ini tengah berdiri di persimpangan moral antara keberpihakan dan kepentingan. Di satu sisi, ada rakyat kecil yang mengabdi dengan setia; di sisi lain, ada kebijakan yang lebih berpihak pada angka dan proyek, bukan pada manusia yang memberi tenaga dan waktu mereka untuk daerah ini.
“Jika pemerintah daerah terus menutup mata terhadap jeritan mereka yang telah mengabdi tanpa penghargaan, maka bukan hanya kepercayaan yang hilang, tetapi juga martabat Tanimbar sebagai daerah yang menjunjung nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan. Sebab, keadilan yang diabaikan hari ini akan menjadi luka sosial yang membekas di hati masyarakat Tanimbar untuk waktu yang lama,” pungaksnya.
Meski begitu, hingga berita ini diterbitkan, Pemerintah Kabupaten Kepulauan Tanimbar belum memberikan keterangan resmi terkait alasan rinci tidak diakomodirnya para tenaga PPPK Paruh Waktu tersebut dalam data BKN. (*)