Refleksi Kritis Forum 592: Pesta Pora di Atas Tangisan Rakyat
Saumlaki, Jurnalinvestigasi - Di alun-alun Mandrwiak, Sabtu (4/10/2025), lagu-lagu rakyat Tanimbar bergema keras menembus langit Duan Lolat. Irama pesta menggelegar, lampu panggung berkelip memantulkan warna kebanggaan. Namun di sela gegap gempita itu, aroma getir menyelinap suara tangisan rakyat Tanimbar yang tak terdengar oleh para penguasa yang sedang berjoget ria dalam balutan busana adat.
Pemandangan itu memunculkan ironi yang dalam: adat Tanimbar yang sarat makna, kini hanya dijadikan kostum panggung bagi para elit yang haus tepuk tangan. Di atas tanah leluhur yang penuh nilai sakral, simbol budaya dipertontonkan tanpa rasa sekadar hiasan seremoni tanpa jiwa.
“Tema besar HUT KKT Ke-26, Bersatu Berdaulat, Rakyat Sejahtera, dan Tanimbar Maju, sejatinya hanya milik mereka yang hari ini bergoyang di Mandrwiak. Bagi kami, rakyat yang terpinggirkan, tema sebenarnya adalah: Penguasa Bersatu Berdaulat, Rakyat Sengsara, Tanimbar Menangis,” ujar perwakilan Forum 592 dalam refleksinya yang disampaikan kepada media ini, Sabtu malam.
Ironi kian memuncak ketika fakta berbicara lain. Di tengah sorotan lampu panggung yang menyilaukan, keuangan daerah justru kian gelap. Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Tanimbar berulang kali beralasan “tidak ada dana” untuk membayar hak ratusan tenaga P3K namun pesta ulang tahun daerah tetap diselenggarakan megah, dengan biaya yang tidak sedikit.
“Bagaimana mungkin mereka bisa menari di atas penderitaan rakyat yang gajinya tertahan, yang haknya diabaikan? Kami, Forum 592, adalah saksi dari kebohongan anggaran ini,” kata salah satu anggota forum dengan nada getir.
Yang lebih menyayat, di tengah pesta pora tersebut, salah satu anggota Forum 592 justru ditahan oleh Polres Kepulauan Tanimbar. “Ini seperti hadiah istimewa di hari ulang tahun Tanimbar. Hadiah pahit bagi kami, rakyat kecil yang menuntut keadilan,” ungkap mereka penuh kecewa.
Padahal, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian telah jauh-jauh hari memperingatkan agar kepala daerah menahan diri dari pesta berlebihan di tengah situasi sosial yang sulit.
“Kami sudah sampaikan, tunda semua kegiatan seremonial yang terkesan pemborosan. Apalagi dengan musik-musik seperti pesta,” tegas Tito dalam rapat di Jakarta, dikutip (7/9/2025).
Ia bahkan menyarankan agar peringatan hari jadi daerah dilakukan secara sederhana, cukup dengan tumpengan atau santunan kepada anak yatim dan masyarakat miskin.
“Di tengah situasi seperti ini sangat sensitif. Pesta kemewahan bisa menimbulkan masalah baru,” kata Tito tegas.
Namun imbauan itu tampaknya hanya jadi angin lalu bagi para pemimpin di bumi Duan Lolat. Sementara rakyat menahan lapar dan gundah, pesta terus bergulir lengkap dengan panggung megah, musik bergema, dan senyum lebar para pejabat.
“Pemerintah Daerah KKT sudah kehilangan rasa malu. Mereka bicara soal defisit anggaran, tapi berpesta seperti negeri kaya. DPRD KKT pun diam seribu bahasa. Jadi, kepada siapa lagi kami harus percaya?” kata salah satu juru bicara Forum 592 dengan nada getir.
Mereka menilai, pemerintahan hari ini telah kehilangan arah moral, menjadikan simbol budaya sebagai dekorasi kekuasaan, dan membungkus penderitaan rakyat dengan lagu dan tarian.
“Adat dijual, moral dikubur, rakyat dikorbankan demi citra politik. Inilah wajah Tanimbar hari ini,” ujar mereka tajam.
Forum 592 menutup refleksi mereka dengan kalimat yang menohok:
“Dirgahayu Kabupaten Kepulauan Tanimbar Ke-26. Dari kami, rakyat kecil, dalam tangisan dan doa. Semoga Tuhan membuka hati para penguasa yang lupa daratan.”
Di antara kembang api dan tawa pejabat di panggung, suara itu tenggelam namun gema penderitaan rakyat Tanimbar terus bergema di pelosok negeri.
HUT Ke-26 ini bukan lagi perayaan kemajuan, tetapi potret luka kolektif: ketika penguasa bersatu dalam kuasa, rakyat bersatu dalam derita.
Tanimbar menangis di bawah langit Mandrwiak bukan karena usia bertambah, tapi karena nurani para pemimpinnya mulai punah. (*)