Gorontalo, Jurnal Investigasi – Aksi unjuk rasa yang digelar di Kantor Balai Wilayah Sungai (BWS) Sulawesi II Gorontalo pada Selasa, 8 Oktober 2025, berujung ricuh setelah salah satu oknum pendemo diduga melakukan pemukulan terhadap Kepala BWS Sulawesi II, Ali Rahmat, tepat di bagian kepala. Insiden memalukan tersebut kini menuai kecaman keras dari berbagai pihak, salah satunya Lembaga Swadaya Masyarakat Kibar (KIBAR) Provinsi Gorontalo, yang mendesak aparat penegak hukum (APH) untuk menindak tegas pelaku.
Menurut keterangan sejumlah saksi di lokasi, insiden bermula ketika Kepala BWS Sulawesi II, Ali Rahmat, secara terbuka mengajak para pendemo untuk duduk dan berdialog secara baik-baik mengenai materi orasi yang mereka sampaikan. Namun, ajakan damai tersebut justru dibalas dengan tindakan brutal dari salah satu peserta aksi, yang secara tiba-tiba melakukan pemukulan di bagian kepala terhadap pejabat negara tersebut.
Ketua LSM KIBAR Provinsi Gorontalo, Hengki Maliki, mengecam keras tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap Kepala BWS Sulawesi II. Ia menilai tindakan tersebut bukan hanya mencoreng nilai-nilai demokrasi, tetapi juga termasuk dalam kategori tindak pidana murni yang harus segera diproses secara hukum tanpa kompromi.
“Ini adalah tindakan pidana dan tidak bisa ditoleransi. Setiap warga negara berhak menyampaikan pendapat, tetapi tidak dengan cara-cara kekerasan. Kami mendesak aparat penegak hukum, baik kepolisian maupun kejaksaan, untuk segera memproses hukum pelaku pemukulan tersebut sesuai aturan yang berlaku,” tegas Hengki Maliki, Rabu (9/10/2025).
Perbuatan kekerasan yang dilakukan terhadap pejabat negara dalam konteks apa pun merupakan pelanggaran serius terhadap hukum pidana. Berdasarkan Pasal 351 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), disebutkan bahwa:
“Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Selain itu, jika penganiayaan dilakukan terhadap seorang pejabat negara yang sedang melaksanakan tugasnya secara sah, maka hukuman dapat diperberat sebagaimana diatur dalam Pasal 212 KUHP, yang menegaskan:
“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan melawan pejabat yang sedang menjalankan tugas yang sah, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Dengan demikian, tindakan oknum pendemo tersebut dapat dikategorikan sebagai perlawanan terhadap pejabat yang sedang menjalankan tugas resmi, karena saat kejadian berlangsung, Kepala BWS Sulawesi II tengah berupaya menempuh langkah dialog untuk menjaga situasi tetap kondusif.
Tanggung Jawab Moral dan Etika
Hengki Maliki menambahkan, tindakan kekerasan seperti ini tidak hanya melanggar hukum pidana, tetapi juga menunjukkan rendahnya moral dan etika dalam berdemokrasi. Ia menegaskan bahwa unjuk rasa adalah hak konstitusional sebagaimana dijamin oleh Pasal 28E Ayat (3) UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, namun kebebasan tersebut tidak boleh disalahgunakan untuk melakukan tindakan anarkis.
“Kami mengingatkan kepada seluruh elemen masyarakat dan kelompok aktivis agar dalam menyampaikan pendapat di muka umum tetap menjunjung tinggi etika, sopan santun, dan hukum yang berlaku. Demokrasi tidak berarti bebas melakukan kekerasan,” ujar Hengki.
Desakan Penegakan Hukum
LSM KIBAR mendesak agar aparat kepolisian segera melakukan penyelidikan dan penangkapan terhadap pelaku, karena kejadian tersebut telah memenuhi unsur pidana sebagaimana diatur dalam KUHP. KIBAR menilai, tindakan cepat aparat hukum akan menjadi bentuk perlindungan terhadap martabat dan keamanan pejabat publik, sekaligus menjadi efek jera bagi siapa pun yang mencoba menggunakan kekerasan dalam konteks demokrasi.
Hengki juga menegaskan bahwa organisasi masyarakat sipil memiliki tanggung jawab moral untuk mengawal proses hukum hingga tuntas, agar kejadian serupa tidak terulang di masa depan.
“Kami akan terus memantau dan mendesak penegakan hukum yang transparan dan profesional. Jangan sampai ada kesan pembiaran terhadap tindakan kriminal seperti ini, karena bisa menjadi preseden buruk bagi iklim demokrasi di Gorontalo,” pungkasnya.
Peristiwa pemukulan terhadap Kepala BWS Sulawesi II menjadi pelajaran penting bahwa kebebasan berekspresi harus dijalankan dengan tanggung jawab dan penghormatan terhadap hukum. Negara wajib hadir menegakkan keadilan, sementara masyarakat sipil perlu memastikan bahwa ruang demokrasi tidak dicemari oleh tindakan kekerasan dan arogansi.
(***)