Saumlaki, Jurnalinvestigasi.com – Pernyataan Penjabat Sekretaris Daerah Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Brampi Moriolkosu, yang membantah adanya peserta “siluman” dalam seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) paruh waktu tahun 2025, justru memperlebar jurang ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah daerah.
Dalam keterangannya, Moriolkosu menegaskan bahwa seluruh peserta yang diusulkan merupakan hasil seleksi resmi, sesuai analisis kebutuhan Aparatur Sipil Negara (ASN). Namun, bantahan ini berlawanan dengan fakta yang terungkap dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara DPRD dan Pemkab Tanimbar, serta arahan langsung dari Kementerian PAN-RB.
Pada forum resmi RDP, telah diakui secara terang bahwa terdapat 189 nama yang tidak tercatat dalam database BKN, namun tetap diakomodir sebagai usulan PPPK paruh waktu. Bahkan, Kemenpan-RB telah menegaskan bahwa pengusulan harus mengikuti prosedur sesuai database, bukan membuka peluang bagi peserta yang tidak tercatat. Dengan demikian, bantahan Sekda jelas tidak sejalan dengan fakta rapat dan instruksi kementerian.
Sikap Moriolkosu yang mencoba menutupi persoalan ini, alih-alih menyelesaikan, justru memperlihatkan ketidakmampuan seorang pimpinan birokrasi dalam menjaga integritas dan transparansi proses rekrutmen ASN. Publik berhak merasa dikhianati, terutama ratusan tenaga PPPK paruh waktu yang namanya justru tidak diakomodir meski telah lama mengabdi di Pemda Kepulauan Tanimbar.
Oleh karena itu, PPPK Paruh Waktu 592 menilai desakan agar Pj Sekda Kepulauan Tanimbar segera dicopot dari jabatannya adalah langkah yang wajar dan mendesak. Birokrasi daerah tidak boleh dipimpin oleh pejabat yang lebih memilih membantah fakta daripada menegakkan kebenaran.
Kepala daerah, DPRD, dan seluruh pemangku kepentingan harus bersikap tegas. Jika Sekda tidak mampu menjaga kejujuran dan transparansi, maka tidak ada alasan untuk mempertahankan posisinya. Tanimbar membutuhkan pejabat yang berani berdiri di atas kepentingan rakyat, bukan sekadar menjadi tameng bagi kebijakan yang cacat prosedur.
Lebih jauh, sikap inkonsistensi pemerintah daerah dalam kasus PPPK Paruh Waktu ini memperlihatkan lemahnya komitmen terhadap prinsip akuntabilitas publik. Bagaimana mungkin di satu sisi mengakui adanya usulan dari peserta yang tidak tercatat di database BKN, namun di sisi lain membantah dengan narasi “tidak ada siluman”? Publik tentu tidak bisa menerima jawaban yang saling bertolak belakang.
Kondisi ini bukan sekadar soal administrasi, tetapi menyangkut kredibilitas pemerintah daerah. Jika Sekda dibiarkan terus menutupi fakta, maka legitimasi hasil seleksi PPPK di Kabupaten Kepulauan Tanimbar akan selalu diragukan. Hal ini bisa berdampak pada stabilitas sosial, mengingat sudah ada ratusan PPPK paruh waktu yang menyatakan siap melakukan langkah hukum maupun aksi protes.
Karena itu, pencopotan Sekda bukan hanya tuntutan moral, tetapi keharusan politik dan administrasi. Pimpinan birokrasi harus digantikan oleh sosok yang lebih jujur, transparan, dan berani menghadapi persoalan sesuai fakta lapangan. Hanya dengan langkah tegas ini, pemerintah daerah dapat memulihkan kembali kepercayaan publik dan menegakkan keadilan bagi tenaga honorer yang selama ini telah berkorban untuk melayani masyarakat.
Redaksi: Media Jurnal investigasi