Bekasi,Media Jurnal Investigasi-Moratorium penerbitan izin perumahan yang dikeluarkan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi datang di saat yang tidak terlalu dini, tetapi juga tidak sepenuhnya terlambat. Di sejumlah wilayah penyangga metropolitan, kerusakan sudah terlanjur terjadi. Salah satu contohnya adalah Desa Tanjung Baru, Kecamatan Cikarang Timur, Kabupaten Bekasi—di mana sawah produktif perlahan berubah menjadi hamparan kavling perumahan.
Surat Edaran Gubernur Jawa Barat Nomor 180/HUB.03.08.02/DISPERKIM yang menghentikan sementara izin perumahan se-Jawa Barat dikeluarkan dengan alasan mitigasi bencana hidrometeorologi. Namun, jika menengok Tanjung Baru, moratorium ini justru membuka pertanyaan yang lebih tajam: ke mana negara selama sawah-sawah itu ditimbun dan dijual sebagai masa depan hunian?
Desa Tanjung Baru Cikarang Timur sejak lama dikenal sebagai wilayah pertanian. Sawah di kawasan ini bukan sekadar sumber pangan, melainkan juga daerah resapan air yang menopang keseimbangan hidrologi Cikarang Timur. Ketika sawah tersebut beralih fungsi menjadi perumahan, risiko banjir dan genangan bukan sekadar kemungkinan, melainkan keniscayaan.
Ironisnya, Kabupaten Bekasi telah memiliki Peraturan Daerah tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B). Regulasi itu menjanjikan perlindungan terhadap sawah dari ekspansi beton. Tetapi di lapangan, LP2B kerap kalah oleh izin lokasi, izin perumahan, atau sekadar pembiaran administratif.
Alih fungsi lahan di Tanjung Baru menunjukkan satu hal: LP2B terlalu sering diperlakukan sebagai dokumen perencanaan, bukan larangan yang mengikat. Ketika pengembang masuk, sawah dianggap sebagai cadangan tanah murah, bukan sebagai infrastruktur pangan dan lingkungan.
Moratorium izin perumahan yang kini diberlakukan Gubernur Jawa Barat semestinya dibaca sebagai koreksi atas kegagalan tersebut. Dengan menghentikan izin sampai adanya kajian risiko bencana dan penyesuaian RTRW, pemerintah provinsi sedang menarik garis tegas—garis yang seharusnya sudah ditarik sejak Perda LP2B disahkan.
Namun, bagi warga dan petani Tanjung Baru, kebijakan ini datang setelah banyak lahan terlanjur berubah. Sawah yang hilang tidak mudah dikembalikan. Sistem irigasi yang terputus sulit dipulihkan. Dan petani yang kehilangan lahan jarang mendapat alternatif yang layak.
Di sinilah moratorium diuji: apakah ia hanya akan menjadi penahan sementara untuk proyek-proyek baru, ataukah juga menjadi pintu masuk untuk meninjau ulang pembangunan yang sudah berjalan tetapi diduga melanggar tata ruang dan LP2B?
Ketegangan antara pemerintah daerah dan pusat—yang terlihat dari rencana Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman memanggil Gubernur Jawa Barat—menunjukkan dilema lama. Negara ingin membangun rumah dengan cepat, tetapi lupa bahwa rumah yang berdiri di atas sawah yang hilang justru memperbesar kerentanan bencana dan krisis pangan.
Desa Tanjung Baru adalah potret kecil dari masalah besar. Ketika sawah berubah menjadi perumahan, yang hilang bukan hanya padi, tetapi juga daya tahan wilayah. Banjir yang kian sering, konflik agraria yang membara, dan ketergantungan pangan yang meningkat adalah harga yang harus dibayar.
Moratorium izin perumahan seharusnya menjadi titik balik. Pemerintah Kabupaten Bekasi perlu membuka data: sawah mana yang dilindungi LP2B, izin mana yang telah terbit, dan siapa yang bertanggung jawab atas alih fungsi yang terjadi. Tanpa keberanian menelusuri masa lalu, kebijakan hari ini akan kehilangan makna.
Pada akhirnya, pertanyaan yang mesti dijawab bukan apakah moratorium ini pro atau anti pembangunan. Pertanyaannya jauh lebih mendasar: apakah negara masih menganggap sawah sebagai aset strategis, atau sekadar menunggu waktu sampai semuanya menjadi kavling?
(Iyus Kastelo)


