Majalengka,Media Jurnal Investigasi-Setelah sekian lama publik menantikan kejelasan sikap Pemerintah Daerah (Pemda) Majalengka terhadap keberadaan PT Nanxiong Indonesia yang disorot publik karena masalah perizinan dan pemanfaatan ruang, akhirnya pernyataan resmi keluar dari pihak Pemda. Melalui Staf Ahli Bupati, Wawan, Pemda menyatakan bahwa PT Nanxiong telah menunjukkan iktikad baik untuk mematuhi Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 6 Tahun 2025.
Wawan menyampaikan bahwa perusahaan tersebut telah bersedia mengikuti ketentuan sanksi administratif, termasuk melakukan pembayaran ke kas daerah sebagai bentuk kepatuhan terhadap Perbup yang berlaku. Hal ini merupakan hasil dari proses diskusi yang panjang dan alot antara Tim Penyelesaian Sanksi Administratif Pelanggaran Pemanfaatan Ruang dengan pihak perusahaan.
Namun, langkah Pemda ini justru memunculkan pertanyaan serius dari publik dan anggota legislatif. Sebelumnya, DPRD Majalengka secara tegas merekomendasikan penutupan PT Nanxiong karena dinilai melanggar peraturan dan beroperasi tanpa izin lengkap. Lalu mengapa Pemda justru mengambil langkah kompromistis? Apakah Pemda sedang “masuk angin”?
Ketua KPK Tipikor, H. Dodi Sanjaya, turut memberikan kritik tajam atas perbedaan sikap antara DPRD dan Pemda Majalengka.
“Ketika DPRD sudah tegas menyatakan pelanggaran dan merekomendasikan penutupan, seharusnya Pemda menguatkan sikap tersebut. Ini menyangkut kredibilitas penegakan hukum dan kepastian berusaha. Kalau pelanggaran justru diakomodir dengan jalan damai dan denda,
publik akan bertanya-tanya hukum ini ditegakkan atau dinegosiasikan?” tegas Dodi.
Ia juga menyoroti potensi buruk bagi iklim investasi dan tata kelola pemerintahan daerah.
“Kalau perusahaan bisa lolos dari sanksi berat dengan hanya membayar denda, maka perusahaan lain akan ikut-ikutan. Ini akan menjadi preseden buruk,” tambahnya.
Penegakan Perda dan Perbup seharusnya menjadi pilar penting dalam tata kelola pemerintahan daerah yang sehat dan berwibawa. Apalagi jika menyangkut pemanfaatan ruang dan izin usaha yang berdampak langsung terhadap lingkungan, tata kota, dan hak-hak masyarakat.
Kompromi bukan berarti menyerah pada tekanan atau kepentingan sesaat. Penegakan hukum harus memberikan efek jera, bukan sekadar formalitas. Bila pelanggaran dibiarkan hanya dengan solusi administrasi, maka esensi keberadaan perda menjadi kehilangan makna.
Kini, bola panas ada di tangan Bupati dan jajarannya. Akankah mereka tetap berdiri tegak menegakkan aturan, atau terjebak dalam kompromi yang mencederai keadilan? (*)