Kehadiran Koperasi Merah Putih di wilayah desa kini memunculkan polemik yang tak bisa diabaikan. Alih-alih menjadi solusi penguatan ekonomi rakyat, koperasi ini justru menambah beban baru bagi pemerintah desa dan menciptakan ketidakharmonisan dengan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang lebih dulu eksis dan sah secara regulatif.
Dari segi konsep, koperasi memang menjadi instrumen penting dalam pembangunan ekonomi kerakyatan. Namun, dalam praktiknya, Koperasi Merah Putih ini justru berjalan tanpa sinkronisasi yang jelas dengan struktur kelembagaan di desa. Ia muncul sebagai entitas paralel, bahkan kadang-kadang bersifat dominan, hingga menyingkirkan peran BUMDes yang sudah dirancang sebagai ujung tombak pembangunan ekonomi lokal.
Banyak kepala desa dan perangkatnya kini merasa terbebani. Di tengah tugas yang semakin kompleks dan anggaran yang terbatas, mereka dipaksa untuk mengakomodasi koperasi ini—baik secara administratif, operasional, maupun politis. Pemerintah desa seolah dihadapkan pada dua pilihan yang sulit: melayani dua badan usaha yang bisa saling berbenturan, atau mengambil risiko menolak koperasi yang mendapat "restu" dari atas.
Masalah lain yang mengemuka adalah tumpang tindih kewenangan dan sumber daya. Ketika koperasi ini bergerak di sektor yang sama dengan BUMDes—seperti simpan pinjam, distribusi sembako, hingga pengelolaan lahan desa—maka bukan sinergi yang terjadi, melainkan kompetisi yang tidak sehat. Ini berpotensi memecah belah masyarakat desa, memicu kecemburuan sosial, dan menghambat roda pembangunan.
Lalu, siapa sebenarnya diuntungkan dari kehadiran koperasi ini? Jika orientasinya lebih bersifat politis atau semata-mata proyek sentralistik tanpa mendengar suara akar rumput, maka koperasi ini hanya akan menjadi simbol kegagalan dalam membangun kemandirian desa. Pemerintah pusat dan kementerian terkait mesti terbuka terhadap kritik ini.
Sudah saatnya dilakukan audit menyeluruh terhadap eksistensi dan operasional Koperasi Merah Putih. Transparansi perlu ditegakkan: siapa yang menginisiasi, siapa yang membiayai, dan apa agenda jangka panjangnya? Apakah koperasi ini benar-benar mendampingi masyarakat, atau justru menjadi kendaraan politik berkedok ekonomi kerakyatan?
Pemerintah pusat harus kembali pada semangat UU Desa dan memperkuat peran BUMDes sebagai lembaga ekonomi sah yang berbasis partisipasi warga. Jangan sampai semangat memberdayakan desa justru berubah menjadi dominasi atas desa.
Karena ketika program dari atas tidak mengindahkan realitas bawah, maka yang terjadi bukan kemajuan, tapi konflik.
(Penulis adalah Redaktur Pelaksana Media Jurnal Investigasi/Rachmat Saputra)