Jelajahi

Kategori
Best Viral Premium Blogger TemplatesPremium By Raushan Design With Shroff Templates
{{ date }}
{{ time }}
DIGITAL CLOCK with Vue.js

Racun di Balik gizi Gratis

Redaksi
29 Oktober 2025
Last Updated 2025-10-29T01:43:19Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates

 

Adv sunoko,SH (Pimred)


Oleh: Pemimpin Redaksi

Ketika program makan bergizi gratis berubah menjadi ladang praktik kotor, ribuan anak jadi korban, dan integritas negara teruji di meja makan sekolah.



Program Makan Bergizi Gratis (MBG) digagas untuk memberi gizi bagi anak-anak Indonesia, bukan trauma. Namun, rangkaian kasus keracunan massal di berbagai daerah menyingkap kenyataan pahit di balik slogan “gizi gratis”, tersimpan racun moral birokrasi  korupsi yang menjalar dari dapur negara hingga perut anak-anak bangsa.




Di atas kertas, MBG tampak seperti kebijakan sosial progresif negara hadir memberi makan bagi mereka yang paling membutuhkan. Namun dalam praktik, program ini berubah menjadi pameran klasik antara niat baik dan pelaksanaan buruk  antara idealisme kebijakan dan kerakusan birokrasi.


Laporan investigatif Reuters (1 Oktober 2025) mencatat lebih dari 9.000 anak di Indonesia mengalami keracunan makanan yang bersumber dari dapur penyedia MBG. Insiden terjadi berulang di berbagai provinsi, dari Jawa hingga Nusa Tenggara, menandakan masalah yang bersifat sistemik, bukan insidental.


Penyebab utamanya bukan sekadar kelalaian teknis, tetapi ketimpangan antara besarnya anggaran dan lemahnya akuntabilitas. Indonesia Corruption Watch (ICW) bahkan menilai tata kelola MBG terlalu sentralistik, tertutup, dan membuka ruang lebar bagi praktik mark-up, laporan fiktif, serta monopoli penyedia dapur oleh pihak-pihak berafiliasi dengan pejabat publik.



Dengan alokasi anggaran yang mencapai puluhan triliun rupiah, publik berhak menuntut transparansi dan mutu terbaik.

Namun, fakta di lapangan menunjukkan makanan yang disajikan di banyak sekolah tidak sesuai dengan petunjuk teknis (juknis) MBG.


Harga bahan pokok di atas kertas dilaporkan melonjak hingga dua kali lipat dari harga pasar, ayam, telur, dan sayur dihitung seperti emas, sementara anak-anak justru disuguhi nasi basi dan lauk hambar.


Di sejumlah daerah, dapur yang ditunjuk pemerintah tak memenuhi standar higienitas. Bahkan, Reuters (22 September 2025) menyebut hanya sebagian kecil dapur yang bersertifikat layak kesehatan, sisanya beroperasi tanpa pengawasan ketat. Tak heran jika ribuan pelajar akhirnya dirawat di puskesmas akibat keracunan massal  tragedi yang menampar nurani publik.



Salah satu akar persoalan terpenting adalah monopoli pengadaan dapur MBG oleh oknum tertentu.

Alih-alih membuka ruang bagi koperasi sekolah, UMKM lokal, atau kelompok ibu-ibu desa, pengelolaan justru tersentralisasi di tangan vendor besar yang diduga berjejaring dengan pejabat.


Model ini bukan hanya mengebiri prinsip keadilan sosial, tetapi juga mematikan akal sehat administrasi negara.

Ketika penyedia tunggal berkuasa tanpa kontrol publik, maka kualitas makanan akan dikorbankan demi efisiensi palsu dan anak-anaklah yang menjadi korban.


Inilah tragedi kebijakan populis yang kehilangan jiwa ketika proyek sosial dijalankan dengan logika tender, bukan dengan nurani.


Tragedi ribuan anak keracunan bukan hanya kegagalan teknis, melainkan kegagalan etika administrasi.

Negara, dalam esensinya, punya kewajiban moral tertinggi  melindungi kehidupan warganya, terlebih generasi muda.

Ketika program publik malah membahayakan anak-anak, maka sesungguhnya yang busuk bukan sekadar makanan di kotak nasi, tapi juga hati nurani kebijakan itu sendiri.


Kebijakan publik tanpa integritas hanyalah slogan tanpa makna.

Dan ketika pejabat lebih sibuk menyelamatkan citra ketimbang memperbaiki sistem, maka bangsa ini kehilangan arah moralnya.



Jalan keluar bukan menghentikan MBG, melainkan mengembalikan pengelolaannya ke tangan yang benar.

Dapur sekolah harus menjadi pusat kendali gizi, bukan perusahaan penyedia anonim yang tak kenal murid yang mereka beri makan.


Desentralisasi dapur ke sekolah-sekolah akan:


Memperpendek rantai pasokan dan menekan biaya


Memperkuat kontrol masyarakat, guru, dan orang tua


Memberdayakan petani serta pelaku UMKM lokal


Menjamin transparansi dan tanggung jawab moral di tingkat paling bawah.



Dengan model seperti ini, MBG dapat kembali ke tujuannya semula  bukan sekadar makan gratis, tetapi makan yang jujur dan sehat.



Bangsa yang besar bukan diukur dari banyaknya program sosial, melainkan dari ketulusan moral dalam menjalankannya.

MBG bisa menjadi langkah besar bagi masa depan anak-anak Indonesia, namun juga bisa menjadi simbol kehancuran etika publik jika dibiarkan tanpa perbaikan.


“Racun di balik gizi gratis” bukan hanya metafora  ia adalah peringatan.

Bahwa di negeri ini, bahkan sebuah sendok nasi pun bisa menjadi alat ujian bagi kejujuran negara.

Dan hari ini, kita tahu negara sedang gagal menjawab ujian itu.



---


Referensi Fakta:


Reuters, “More than 9,000 children in Indonesia got food poisoning from school meals in 2025.” (1 Oktober 2025)


Reuters, “Indonesia urged to halt $10 billion free school meals plan after mass food poisoning.” (22 September 2025)


ICW, “Banyak Masalah, ICW Desak Program Makan Bergizi Gratis Dihentikan Sementara.” (April 2025)


CNN Indonesia & JPPI, “Ribuan Anak Keracunan Makanan MBG, Pemerintah Diminta Evaluasi Menyeluruh.” (Oktober 2025)


JawaPos, “KPK Telusuri Dugaan Laporan Fiktif dan Mark-Up Anggaran MBG.” (Oktober 2025)



iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl