GORONTALO, Jurnal Investigasi — Situasi pemerintahan di Kota Gorontalo kembali menjadi sorotan publik. Sejumlah pemerhati menilai, arah kebijakan pemerintah kota belakangan ini tampak tidak lagi dikendalikan oleh kepala daerah secara profesional, melainkan diduga kuat berada di bawah kendali “permaisuri”. Dugaan ini menguat seiring munculnya indikasi campur tangan pihak yang diduga "orang terdekat" dalam berbagai keputusan penting, termasuk dalam penentuan kegiatan perjalanan dinas hingga pergeseran pejabat.
Menurut sumber internal yang enggan disebutkan namanya, berbagai agenda resmi pemerintahan kini kerap diputuskan berdasarkan arahan “permaisuri”, bukan mekanisme birokrasi yang sah. “Beberapa pejabat mengaku tidak nyaman. Hampir semua keputusan strategis, bahkan penempatan pejabat, disebut-sebut tidak lepas dari pengaruh " Orang Terdekat ” ungkapnya.
Dugaan Perjalanan “Non-Pemerintahan” Pejabat Eselon II
Persoalan kian mencuat setelah beredar informasi bahwa sejumlah pejabat eselon II dan kepala bidang di lingkungan Pemerintah Kota Gorontalo melakukan perjalanan ke Makassar dalam waktu hampir bersamaan. Ironisnya, keberangkatan tersebut diduga tidak sepenuhnya dalam rangka kegiatan pemerintahan.
Dari hasil penelusuran sejumlah pemerhati kebijakan daerah, keberangkatan itu justru lebih mirip “kunjungan rekreatif” yang disamarkan dengan label dinas, salah satu contoh Rapat FORKOMPIMDA dilaksanakan dimakassr, ada apa?. Beberapa pejabat disebut, menggunakan fasilitas dan anggaran daerah. “Ini bukan lagi efisiensi, tapi bentuk kemewahan terselubung. Bagaimana bisa berbicara soal penghematan, sementara para pejabat justru berbondong-bondong melakukan perjalanan ke luar daerah tanpa urgensi yang jelas?” ujar salah pemerhati kebijakan publik Gorontalo.
Sumber di lingkaran pemerintah daerah juga menyebut, keberangkatan itu tidak seluruhnya memiliki surat tugas resmi yang valid. Bahkan ada indikasi penggunaan dana perjalanan dinas secara kolektif tanpa laporan kegiatan yang dapat dipertanggungjawabkan. Kondisi ini memunculkan pertanyaan besar tentang integritas tata kelola anggaran daerah di tengah desakan efisiensi dan keterbatasan fiskal.
Slogan efisiensi anggaran yang kerap digaungkan oleh pemerintah Kota Gorontalo dinilai kini hanya tinggal retorika. Di saat berbagai program publik masih banyak tertunda — mulai dari infrastruktur jalan lingkungan hingga penanganan kemiskinan kota — justru pejabatnya terlihat sibuk bepergian dan menghadiri kegiatan yang tak jelas urgensinya.
“Publik sangat kecewa. Alih-alih fokus membenahi persoalan pelayanan publik, para pejabat ini malah terlihat menikmati fasilitas negara untuk hal-hal yang tidak produktif. Ini bentuk pemborosan yang mengabaikan akuntabilitas publik,”
Beberapa kalangan mendesak agar Inspektorat Daerah, BPKP, hingga Aparat Penegak Hukum (APH) segera melakukan pemeriksaan terhadap seluruh perjalanan dinas ke Makassar tersebut. Pemeriksaan dinilai penting untuk memastikan tidak terjadi penyalahgunaan anggaran serta untuk menguji kebenaran dugaan keterlibatan pihak "permaisuri" dalam proses pengambilan keputusan.
Dugaan Campur Tangan “Permaisuri” Perlu Diusut
Dugaan adanya kendali dari “permaisuri” dalam kebijakan publik Kota Gorontalo dinilai merupakan bentuk pelanggaran terhadap prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Jika benar terjadi, hal tersebut melanggar asas profesionalitas dan netralitas birokrasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan serta Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Campur tangan pihak "Orang Terdekat" dalam struktur pemerintahan, terutama yang tidak memiliki kapasitas hukum, berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan membuka ruang penyalahgunaan kewenangan. “Fenomena ‘permaisuri berkuasa’ ini bukan hal baru di politik lokal. Tapi jika dibiarkan, akan menghancurkan sistem birokrasi dan menciptakan budaya feodal di pemerintahan modern,” tegas pengamat politik lokal.
Seruan Transparansi dan Audit Menyeluruh
Sejumlah elemen masyarakat sipil menyerukan agar pemerintah kota segera membuka secara transparan data perjalanan dinas seluruh pejabat, termasuk rincian anggaran, surat tugas, dan laporan hasil kegiatan. Transparansi ini penting untuk memulihkan kepercayaan publik yang mulai luntur akibat isu foya-foya pejabat dan intervensi “ kekuasaan.”
“Jika memang perjalanan itu resmi dan relevan dengan urusan pemerintahan, maka tak ada yang perlu ditutup-tutupi. Tapi kalau ada unsur penyalahgunaan, maka publik berhak tahu dan aparat harus turun tangan,” ujar seorang tokoh masyarakat yang meminta agar DPRD Kota Gorontalo membentuk panitia khusus (pansus) untuk mengusut dugaan tersebut.
Gelombang kritik terhadap Pemerintah Kota Gorontalo menjadi peringatan keras bahwa birokrasi daerah tidak boleh dibiarkan menjadi instrumen kepentingan pribadi atau penguasa. Campur tangan non-struktural dalam kebijakan publik, serta dugaan pemborosan perjalanan dinas ke Makassar, merupakan isu serius yang harus segera ditindaklanjuti dengan audit dan pemeriksaan mendalam.
Publik kini menunggu langkah konkret aparat pengawas dan penegak hukum untuk memastikan bahwa uang rakyat tidak digunakan untuk kepentingan segelintir orang, apalagi atas nama “pemerintahan bayangan” yang dikendalikan dari balik layar.
(***)