Pontianak,Media Jurnal Investigasi-Permukaan Laut Natuna tenang, tetapi di kedalamannya bergolak persoalan yang bisa menjadi salah satu ujian terpenting bagi konsistensi hukum tata negara Indonesia. Dua pulau kecil, Pengikik Besar dan Pengikik Kecil, mendadak “berpindah rumah” dari Kalimantan Barat (Kalbar) ke Kepulauan Riau (Kepri) menyusul terbitnya Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 100.1.1-6117 Tahun 2022.
Padahal, sejak dulu, kedua pulau ini tercatat sah sebagai bagian dari Kabupaten Mempawah, Kalbar. Kini, muncul pertanyaan hukum yang mendesak dijawab: Apakah wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat berpindah hanya melalui keputusan administratif seorang menteri? Di manakah letak supremasi hukum jika hal itu dibenarkan?
Persoalan Ini Bukan Sekadar Pulau Kecil
Bagi Andri Mayudi, Ketua DPD LSM MAUNG Kalbar, persoalan Pengikik bukan soal luasnya pulau, melainkan soal prinsip kedaulatan dan sistem hukum negara.
Andri menegaskan, Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 dengan jelas menyatakan, perubahan wilayah provinsi hanya dapat dilakukan melalui undang-undang, bukan sekadar keputusan menteri.
Hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, menempatkan undang-undang pada posisi lebih tinggi dibandingkan keputusan menteri. Artinya, selama Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956 belum pernah dicabut atau diubah, maka Pulau Pengikik secara hukum (de jure) tetap bagian Kalbar.
.
Kepri Ajukan Klaim Sejarah dan Penguasaan Nyata
Namun Pemerintah Kepri punya argumen tandingan yang tak kalah kuat. Bupati Bintan, Roby Kurniawan, menegaskan bahwa secara de facto, Pulau Pengikik sudah lama berada di bawah pengelolaan Kepri.
.
Kepri tak hanya mengandalkan administrasi modern. Anggota DPRD Kepri, Khazalik, mengaitkan klaim wilayah itu dengan dokumen sejarah kolonial. Ia merujuk Perjanjian tanggal 1 Desember 1857 antara Resident van Riouw Niewenhuijzen dan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah, yang disebut-sebut memasukkan kawasan Pengikik ke wilayah Riau sejak zaman Hindia Belanda.
Selain sejarah, aspek geografis menjadi andalan Kepri. Dari Tambelan ke Pengikik hanya butuh waktu sekitar lima jam perjalanan laut. Sedangkan ke Kalbar, akses jauh lebih sulit dan mahal. Bagi masyarakat nelayan, jarak dan interaksi sosial menjadi bukti keterhubungan yang nyata.
Benturan Prinsip De Jure vs De Facto
Kasus Pengikik menjadi contoh klasik konflik antara prinsip de jure (hukum tertulis) dengan de facto (fakta lapangan).
Kepri unggul secara de facto:
Pemerintahan berjalan di bawah struktur Kepri.
Desa Pengikik tercatat dalam sistem Kepulauan Riau.
Masyarakat lebih terhubung secara sosial-ekonomi ke Tambelan.
Kalbar berdiri kokoh secara de jure:
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956 masih berlaku.
Permendagri Nomor 137 Tahun 2017 menempatkan Pengikik di Kabupaten Mempawah.
Hierarki hukum Indonesia menolak perubahan wilayah hanya lewat keputusan administratif.
Andri mengingatkan, mengalahkan hukum tertulis demi fakta lapangan bisa menghancurkan prinsip negara hukum.
.
Persoalan Identitas, Bukan Hanya Peta
Bagi Andri, Pengikik bukan hanya soal titik koordinat, tetapi soal jati diri rakyat Kalbar. Ia memperingatkan risiko sosial jika persoalan ini dianggap remeh.
LSM MAUNG Kalbar: Pemerintah Kalbar Harus Bersikap
Dalam nada keras, LSM MAUNG Kalbar mempertanyakan sikap Pemerintah Provinsi Kalbar yang dinilai terlalu pasif.
LSM MAUNG Kalbar mendesak pemerintah pusat untuk:
Menggelar musyawarah nasional yang adil, bijaksana, dan beradab.
Membuka dokumen hukum, sejarah, dan peta wilayah secara transparan.
Menguji sah atau tidaknya Keputusan Mendagri Nomor 6117/2022 melalui Mahkamah Agung.
Menyusun ulang peta administratif nasional berbasis hukum sah.
Memberikan kompensasi bagi Kalbar jika terbukti Pulau Pengikik selama ini memang dikelola Kepri secara de facto.
Kini, Laut Natuna masih tenang, tetapi di bawah gelombangnya, dua pulau kecil tengah memaksa Indonesia menjawab pertanyaan besar: Apakah hukum tata negara akan ditegakkan setegak-tegaknya, ataukah nasib wilayah akan ditentukan diam-diam, dalam tempo sesingkat-singkatnya, tanpa musyawarah yang adil, bijaksana, dan beradab?
m.supandi.