Saumlaki, Jurnalinvestigasi.com – Pernyataan Kantor Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Kepulauan Tanimbar yang menyebut pemanfaatan limbah kayu atau Tomor sah tanpa aturan khusus menuai bantahan keras. Kritik itu datang dari seorang narasumber yang meminta identitasnya dirahasiakan. Ia menegaskan bahwa seluruh bentuk kayu, baik batang pokok, sisa olahan, maupun tumor kayu, tetap dikategorikan sebagai hasil hutan kayu yang wajib memiliki dokumen resmi.
Menurutnya, tidak ada istilah “limbah kayu” yang bisa keluar bebas tanpa dokumen. Semua hasil hutan kayu tetap wajib dicatat resmi melalui dokumen asal-usul. “Tanpa dokumen, otomatis masuk kategori ilegal,” ujarnya kepada media ini, Sabtu (30/8) di Saumlaki.
Ia mengingatkan, ketentuan pidana telah jelas diatur dalam Pasal 87 ayat (1) huruf b UU No. 18 Tahun 2013. Setiap orang yang mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu tanpa dokumen sah, terancam penjara minimal satu tahun serta denda paling sedikit Rp500 juta. “Kalau tumor kayu diangkut tanpa SKSHHK atau FA-KB, jelas itu melanggar pasal pidana,” tegasnya.
Selain itu, ia menyinggung dua aturan turunan yang relevan: PermenLHK No. 8 Tahun 2021 tentang Tata Hutan dan Rencana Pengelolaan Hutan, serta PermenLHK No. 21 Tahun 2020 tentang Tata Usaha Hasil Hutan. Keduanya menegaskan penatausahaan kayu wajib melalui SIPUHH Online. “Semua kayu yang ditebang di areal berizin harus tercatat. Kalau disebut limbah, tetap bagian dari batang pokok, sehingga wajib masuk sistem,” jelasnya.
Pernyataan KPH yang menyebut limbah kayu berasal dari tebangan sah sehingga bisa dimanfaatkan masyarakat juga dinilainya menyesatkan. Hal ini membuka celah bagi mafia kayu untuk melabeli hasil tebangan liar sebagai limbah. “Kalau dibiarkan, mereka bisa memanfaatkan narasi itu untuk melegalkan kayu ilegal,” ungkapnya.
Ia menilai lebih parah lagi ketika KPH mencoba melempar tanggung jawab dengan menyebut aturan soal pemanfaatan limbah merupakan kewenangan pusat. Menurutnya, KPH tetap memiliki kewajiban penuh dalam fungsi pengawasan. “Kalau KPH lepas tangan, mafia kayu akan makin leluasa. Itu sangat berbahaya,” katanya.
Dalih KPH bahwa pemanfaatan limbah mendukung ekonomi masyarakat juga dipatahkan. Faktanya, praktik penampungan tumor kayu di Tanimbar diduga lebih banyak dikendalikan oleh pengusaha besar. “Masyarakat hanya dipakai sebagai alat. Yang untung besar tetap para penampung. Jadi narasi ekonomi rakyat itu hanya bungkus,” kritiknya.
Ia menegaskan, istilah limbah kayu sama sekali tidak dikenal dalam hukum kehutanan. Menurut regulasi, semua bagian kayu pokok yang ditebang adalah hasil hutan kayu dan wajib disertai dokumen. “Itu hanya istilah lapangan, bukan istilah hukum,” imbuhnya.
Lebih lanjut, klaim KPH yang menyamakan pemanfaatan limbah dengan prinsip pengelolaan hutan lestari disebutnya sebagai kekeliruan fatal. Ia menekankan, pengelolaan hutan lestari justru menuntut administrasi ketat agar hutan tetap terjaga. “Kalau aturan dilonggarkan, sama saja mengundang kerusakan,” tandasnya.
Ia mendesak aparat penegak hukum untuk segera memeriksa praktik pemanfaatan tumor kayu yang marak di Tanimbar. Tanpa pengawasan tegas, hal ini berpotensi dijadikan modus besar untuk menghalalkan penebangan liar. “Pasal pidananya jelas, dokumennya juga sudah diatur. Kalau dibiarkan, hutan Tanimbar akan habis dengan dalih ekonomi rakyat,” tegasnya lagi.
Bagi narasumber, hutan merupakan aset negara yang tak boleh dikorbankan demi kepentingan segelintir orang. Ia menuntut agar pernyataan KPH segera diluruskan agar tidak semakin menyesatkan publik. “Kalau bicara hukum, semua kayu tanpa dokumen sah adalah ilegal, titik,” pungkasnya.
Dengan kondisi ini, bola panas kini berada di tangan aparat penegak hukum dan lembaga pengawasan. Masyarakat menanti langkah tegas untuk menghentikan praktik mafia kayu yang semakin merajalela di Kepulauan Tanimbar. (Welem Lodarmas)


