Oleh : Nik Besitimur (Jurnalis Media Jurnal Investigasi)
Hari ini, Suara Rakyat Tanimbar bergema lantang di tanah leluhur. Seruan itu bukan sekadar teriakan di jalan, tetapi gema hati nurani yang lahir dari kesadaran bahwa tanah ulayat bukan barang dagangan. Ia adalah identitas, sumber hidup, dan roh masyarakat adat yang diwariskan turun-temurun dengan air mata dan darah nenek moyang.
Tanah dan laut bagi masyarakat Tanimbar bukan sekadar ruang ekonomi. Keduanya adalah benteng peradaban. Dari sanalah adat hidup, dari sanalah martabat terjaga. Jika tanah ulayat dirampas, maka tercabutlah akar kehidupan. Jika laut dirusak, maka sirnalah masa depan anak cucu.
Kini, ancaman nyata itu berdiri di depan mata: proyek Blok Masela. Proyek raksasa ini, yang dikemas sebagai simbol “pembangunan nasional”, menyimpan pertanyaan besar: pembangunan untuk siapa? Apakah untuk rakyat kecil di Tanimbar, atau untuk segelintir pemodal besar yang bersembunyi di balik jargon investasi?
Sejarah menunjukkan, setiap pembangunan yang menyingkirkan masyarakat adat berakhir dengan luka. Di banyak tempat, tanah ulayat habis dikapling, laut terjual murah, dan generasi muda hanya bisa menjadi penonton di tanah sendiri. Tanimbar tidak boleh mengulangi kesalahan yang sama.
Rakyat tidak anti pembangunan. Yang ditolak adalah pembangunan yang zalim pembangunan yang merampas hak ulayat, merusak laut, dan mengorbankan adat. Pembangunan sejati seharusnya mengangkat martabat manusia, bukan menindasnya.
Dalam konteks hukum, posisi masyarakat adat jelas dijamin. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menegaskan negara mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat hukum adat. UU Pokok Agraria Pasal 3 menegaskan hak ulayat sepanjang kenyataannya masih ada. Permendagri 52/2014 memberi pedoman pengakuan Masyarakat Hukum Adat. Semua regulasi ini berdiri kokoh di belakang rakyat.
Artinya, jika ada upaya merampas tanah ulayat tanpa prosedur, tanpa musyawarah, tanpa pengakuan adat, maka itu bukan pembangunan, melainkan pelanggaran hukum. Bukan kemajuan, melainkan kemunduran. Bukan kedaulatan, melainkan penjajahan gaya baru.
Kekhawatiran rakyat Tanimbar bukanlah ilusi. Data resmi menunjukkan proyek ini membutuhkan lahan ±1.000 hektar di Pulau Yamdena dan ±27 hektar di Pulau Nustual untuk pelabuhan. Di atas kertas mungkin terlihat rapi, tetapi di lapangan lahan-lahan ini adalah ulayat hidup masyarakat, kebun, dusun, dan situs adat. Bagaimana nasibnya bila semua itu berubah menjadi pabrik, pelabuhan, dan jalur pipa?
Laut pun tidak luput dari ancaman. Zona kerja dan lalu lintas kapal proyek berpotensi mengurangi wilayah tangkap nelayan tradisional. Padahal laut bagi nelayan bukan sekadar sumber ekonomi, tetapi ruang budaya. Di laut ada sasi, ada ritus adat, ada kearifan lokal yang menyatu dengan ritme hidup orang Tanimbar.
Risiko sosial juga mengintai. Masuknya pekerja dari luar bisa memicu konflik sosial, memarjinalkan tenaga lokal, dan menciptakan ketimpangan. Pengalaman dari proyek serupa di daerah lain menunjukkan, jika masyarakat adat tidak dilibatkan sejak awal, maka yang muncul bukan kesejahteraan, melainkan penderitaan berkepanjangan.
Karena itu, rakyat Tanimbar menuntut keadilan. Legalitas ulayat harus dipastikan lebih dulu. Masyarakat Hukum Adat wajib segera dibentuk sesuai aturan, pemetaan ulayat harus dilakukan partisipatif, dan pendaftaran tanah adat dipercepat. Tanpa itu semua, proyek hanya akan menjadi mesin penghapus identitas masyarakat adat.
Selain itu, mekanisme FPIC (Free, Prior, Informed Consent) wajib dijalankan. Tidak ada pembangunan yang bisa dipaksakan. Konsultasi harus dilakukan terbuka, ganti rugi harus adil, dan kompensasi harus menyentuh masa depan pendidikan adat, konservasi laut, serta ruang hidup generasi mendatang.
Perlawanan rakyat bukan perlawanan buta. Ini adalah panggilan leluhur untuk menjaga tanah, laut, dan adat. “Tanah tidak bisa diganti, laut tidak bisa dipindahkan, adat tidak bisa dijual,” begitu pesan yang diwariskan turun-temurun. Sekali tanah ulayat diserahkan, hilanglah jati diri sebagai anak negeri.
Hari ini, rakyat Tanimbar bersumpah: tidak ada sejengkal pun tanah ulayat yang boleh dirampas tanpa pengakuan adat, tidak ada setetes pun laut yang boleh dikuasai tanpa persetujuan rakyat, dan tidak ada satu pun hak yang boleh diinjak oleh kepentingan modal. Biarlah dunia tahu, rakyat Tanimbar lebih rela mati bermartabat di tanah leluhur daripada hidup terjajah di negeri sendiri.
Inilah seruan yang harus menggema: tanah ulayat adalah hidup kita, laut adalah darah kita, dan adat adalah jiwa kita. Tanimbar bukan untuk dijual, Tanimbar bukan untuk digadai, Tanimbar hanya untuk rakyatnya sendiri. Blok Masela boleh jalan, tetapi hanya jika rakyat Tanimbar berdiri sebagai tuan, bukan sebagai korban.


