Saumlaki, Jurnalinvestigasi.com – Di pelosok Kabupaten Kepulauan Tanimbar, jauh dari hingar-bingar pembangunan kota Saumlaki, ada sebuah desa kecil bernama Nurkat. Negeri ini sesungguhnya kaya, bukan karena infrastruktur modern, melainkan karena adat dan budaya yang begitu kental.
Di sini, warisan leluhur dijaga dengan sepenuh hati, aturan adat tidak dapat dilanggar, dan nilai-nilai kebersamaan tetap terpelihara. Nurkat menjadi contoh dan teladan bagi desa-desa lain, sebuah permata Tanimbar yang berkilau dengan jati diri. Namun di balik keelokannya, Nurkat juga menyimpan air mata panjang: desa ini terabaikan, hidup dalam keterasingan pembangunan.
Godfried Edison Labatar, salah satu anak mantu negeri Nurkat menyatakan kepedihannya, mengisahkan dengan suara berat bagaimana kehidupan mereka berjalan penuh kesabaran.
“Kami kaya dengan adat dan budaya. Kami masih hidup dengan aturan leluhur yang kami jaga dengan ketat. Itu harta kami yang paling berharga. Tapi untuk urusan pendidikan, kesehatan, dan pertanian, kami merasa benar-benar ditinggalkan. Pemerintah daerah seakan tidak pernah melihat kami,” ucapnya dengan mata berkaca-kaca.
Di Nurkat, anak-anak tumbuh dengan seragam sekolah lusuh, duduk di bangku kayu yang sudah miring, belajar dari buku-buku tua yang robek. Mereka berangkat pagi-pagi, menempuh jalan tanah yang licin kala hujan, hanya untuk tiba di sekolah kecil yang lebih mirip gubuk ketimbang rumah ilmu.
“Guru jarang hadir, anak-anak belajar sendirian dengan apa adanya. Tapi mereka tetap datang, karena bagi mereka, sekolah adalah satu-satunya pintu harapan,” kata Labatar dengan nada getir.
Kesehatan pun menjadi cerita sedih yang terus berulang. Puskesmas pembantu sekadar papan nama. Obat sering kosong, tenaga medis jarang ada. Warga yang sakit harus menunggu perahu, menantang gelombang laut demi mendapat pertolongan di kecamatan. Labatar terdiam lama sebelum melanjutkan ceritanya, mengingat sebuah peristiwa yang menggores luka dalam.
“Seorang bayi meninggal karena terlambat ditolong. Kami menangis bersama, karena tahu, jika ada fasilitas kesehatan di desa ini, nyawa itu bisa selamat. Bayi itu sekarang hanya tinggal nama di doa kami,” ungkapnya lirih.
Pertanian di Nurkat hanya sebatas bertahan hidup. Lahan luas dibiarkan begitu saja karena tanpa pupuk, tanpa teknologi, tanpa pendampingan. Ubi, jagung, dan pisang ditanam dengan alat seadanya. Hasilnya hanya cukup untuk makan sehari-hari.
“Kadang keluarga kami hanya makan sekali sehari. Anak-anak kami tidur dengan perut kosong. Itu kenyataan hidup di sini,” tambah Labatar dengan nada parau.
Namun, di balik kesulitan itu, Nurkat dianugerahi kekayaan alam luar biasa. Laut mereka penuh dengan ikan, udang, lobster, dan cumi-cumi. Pantai berpasir putih berkilau, tebing karang gagah berdiri, budaya lokal siap menyambut siapa saja yang datang.
Seandainya potensi itu disentuh oleh kebijakan pemerintah, Nurkat bisa menjadi pusat ekonomi baru, bahkan destinasi wisata unggulan. Sayangnya, semua itu hanya jadi cerita yang terpendam.
“Kami punya laut yang kaya, kami punya budaya yang indah, tapi semuanya dibiarkan begitu saja. Nelayan luar datang dengan kapal besar, mengambil ikan kami. Kami hanya bisa menonton, karena tidak punya peralatan,” ujar Labatar.
Lebih memilukan lagi, akses ke Nurkat masih sulit. Jalan tanah becek, listrik hanya sebentar dari genset tua, sinyal telekomunikasi hampir tidak ada. Desa ini seolah hidup di luar Kepulauan Tanimbar.
“Kami sering merasa seperti desa yang hilang. Padahal kami bagian dari Kabupaten Kepulauan Tanimbar. Kami menjaga adat, kami menjaga laut, kami menjaga tanah ini, tapi siapa yang menjaga kami?” tanya Labatar, suaranya serak menahan tangis.
Di tengah kepedihan itu, adat dan budaya tetap menjadi pelita. Orang Nurkat hidup dalam kebersamaan. Mereka menjaga warisan leluhur yang tidak bisa diganggu gugat. Anak-anak dibesarkan dengan cerita-cerita adat, orang muda dihormati, orang tua dijunjung.
Tidak ada yang berani melanggar hukum adat. Nilai itulah yang menjadikan Nurkat istimewa: miskin dalam pembangunan, tapi kaya dalam jiwa.
“Kami ingin pemerintah datang melihat kami, belajar dari bagaimana kami menjaga adat. Kalau soal itu, kami bisa jadi teladan untuk desa-desa lain,” ucap Labatar dengan nada bangga bercampur sedih.
Kini, harapan warga Nurkat masih menggantung. Mereka tidak menuntut banyak, hanya ingin diperlakukan adil. Mereka ingin sekolah yang layak, puskesmas yang benar-benar berfungsi, pertanian yang didukung teknologi, dan laut serta pariwisata yang dikelola dengan baik.
“Kami tidak meminta mewah. Kami hanya ingin anak-anak kami tidak lagi belajar di bangunan rapuh. Kami ingin orang sakit tidak lagi mati sia-sia. Kami ingin hasil bumi dan laut kami menjadi berkat, bukan hanya cerita,” ujar Labatar.
Kisah Nurkat adalah kisah luka yang panjang. Tetapi di balik air mata, ada cahaya kecil: harapan. Jika pemerintah daerah mau membuka mata, Nurkat bisa bangkit. Jika tidak, desa ini akan terus menangis dalam sunyi.
Labatar menutup kisahnya dengan kata-kata yang membuat dada siapa pun sesak:
“Nurkat adalah negeri adat, negeri yang indah. Tapi kami lelah menangis. Tolong lihat kami. Jangan biarkan generasi kami tumbuh dalam kesedihan. Kami butuh pemerintah hadir, agar adat kami yang kuat tidak hanya dikenang karena air mata.”
Air mata masyarakat Nurkat adalah doa yang menggantung di langit Tanimbar. Doa agar suatu hari, pemerintah daerah benar-benar hadir, menyeka tangis, dan mengubah kesedihan menjadi senyum. (Nik Besitimur)