Saumlaki, Jurnalinvestigasi.com - Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kabupaten Kepulauan Tanimbar resmi melaporkan Simon Wermasubun dan rekan-rekan kerjasamanya ke pihak kepolisian atas dugaan tindak pidana fitnah, pencemaran nama baik, dan pemberitaan bohong yang mencemarkan marwah organisasi.
PWI menilai tindakan Simon telah melanggar prinsip-prinsip dasar jurnalisme, termasuk kode etik jurnalistik dan hak jawab, serta memenuhi unsur tindak pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Laporan ini dilayangkan PWI ke Polres Kepulauan Tanimbar pada 29 Juli 2025. Simon dituding menyebarkan informasi fitnah terhadap PWI melalui pemberitaan di beberapa media daring, tanpa melakukan konfirmasi atau memberi ruang hak jawab kepada pihak yang diberitakan.
Simon Wermasubun, adalah individu yang selama ini mengklaim diri sebagai Wartawan Nasional. Namun, berdasarkan penelusuran, yang bersangkutan tidak tercatat sebagai anggota organisasi pers resmi PWI, keanggotaanya sudah tidak aktif sejak tahun 2023 Selain itu, medianya pun tidak terverifikasi Dewan Pers. Gaya peliputan Simon kerap bersifat provokatif dan menyerang, tanpa menerapkan prinsip keberimbangan berita (cover both sides).
Langkah hukum yang diambil oleh PWI Kepulauan Tanimbar adalah bentuk pembelaan terhadap kehormatan organisasi serta marwah profesi wartawan yang dijalankan berdasarkan etik dan hukum.
Tindakan Simon melanggar prinsip-prinsip jurnalisme dan bertentangan dengan Pasal 5 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang berbunyi:
Pasal 5 ayat (1): "Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah."
Pasal 5 ayat (2): "Pers wajib melayani Hak Jawab."
Lebih lanjut, pelanggaran atas kewajiban hak jawab ini diatur dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Pers, yang menyatakan:
“Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 (tentang penyiaran iklan berisi kebohongan atau menyesatkan), dapat dikenakan sanksi pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”
Dengan demikian, ketidakpatuhan Simon terhadap permintaan hak jawab dan pembuatan berita bohong yang merusak reputasi pihak lain dapat ditindak sesuai ketentuan hukum Pers dan sanksi pidananya jelas tercantum dalam undang-undang tersebut.
PWI telah menyiapkan bukti berupa unggahan, tangkapan layar, rekaman komunikasi, dan dokumen surat hak jawab yang diabaikan oleh Simon Wermasubun bersama rekan-rekan Kerjasama yang mana mereka diduga terlibat dalam menciptakan narasi dan membuat berita bohong serta fitnah terhadap marwah organisasi PWI. Semua bukti ini dilampirkan dalam laporan ke Polres dan siap menjadi bagian dari proses penyelidikan.
Tak hanya itu, Masyarakat yang menjadi korban atas tindakan Simon Wermasubun pun turut memberikan dukungan moral dan hukum, menilai bahwa langkah PWI sudah tepat dan mendidik publik tentang pentingnya menegakkan etika jurnalistik di tengah arus informasi digital yang makin liar.
Seluruh rangkaian kejadian berlangsung di Kabupaten Kepulauan Tanimbar sejak Juni 2025 hingga puncaknya pada akhir Juli, dengan laporan resmi yang diajukan pada 29 Juli di Mapolres Kepulauan Tanimbar, Maluku.
Selain Undang-Undang Pers, tindakan Simon Wermasubun juga dapat dijerat Pasal 27 ayat (3) juncto Pasal 45 UU ITE, serta Pasal 310 dan 311 KUHP tentang pencemaran nama baik dan fitnah. Jika terbukti ada unsur kesengajaan untuk menyebarkan berita bohong dan menolak hak jawab, maka hukum pidana umum maupun pidana pers dapat dijalankan bersamaan.
PWI menegaskan bahwa kebebasan pers tidak boleh disalahgunakan untuk menyebar fitnah dan menutup hak jawab. Wartawan yang bekerja tanpa mengikuti kode etik jurnalistik bukanlah bagian dari pers nasional yang sah, tetapi hanya menjadi penyebar narasi pribadi yang dapat merusak demokrasi dan merugikan publik.
Langkah hukum ini adalah bentuk tanggung jawab moral dan profesi. PWI berharap proses hukum berjalan transparan, serta menjadi pelajaran bahwa di tengah kebebasan berekspresi, etika dan hukum tetap menjadi batas yang tak boleh dilanggar. (Tim/Red)