Saumlaki, Jurnalinvestigasi.com – Kehadiran seorang kepala daerah seharusnya menjadi teladan dalam menghargai pilar demokrasi, termasuk kebebasan pers. Namun, apa jadinya jika seorang bupati justru menunjukkan sikap sebaliknya menutup diri, alergi kritik, dan tampak awam terhadap esensi pers sebagai pengawal demokrasi?
Bupati Kepulauan Tanimbar, Ricky Jauwerissa, tampaknya belum memahami secara utuh kedudukan pers dalam sistem demokrasi kita. Dalam berbagai momentum, wartawan justru dipinggirkan dari akses informasi, bahkan kegiatan resmi pemerintah daerah hanya dihadiri oleh media tertentu yang dianggap “aman” bagi citra pemerintah. Praktik diskriminatif ini jelas bertentangan dengan semangat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menjamin kemerdekaan pers tanpa intervensi.
Sikap menutup diri pemerintah daerah dari sorotan kritis media memperlihatkan lemahnya pemahaman seorang pemimpin mengenai fungsi pers. Pers bukan sekadar corong publikasi pencitraan, melainkan mitra strategis dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat, mengawasi jalannya roda pemerintahan, sekaligus mengontrol potensi penyalahgunaan kekuasaan.
Ketika pers dianggap musuh, maka demokrasi kehilangan salah satu pilar pentingnya. Padahal, tanpa pers yang bebas dan independen, masyarakat akan terjebak dalam ruang informasi yang dikendalikan sepihak oleh penguasa. Bukankah ini sebuah kemunduran?
Ironisnya, pejabat publik justru seharusnya paling paham bahwa keterbukaan informasi merupakan hak rakyat. Setiap kebijakan, anggaran, hingga proyek pembangunan, wajib diketahui publik agar tidak menimbulkan kecurigaan. Namun, yang terjadi di Tanimbar hari ini seolah sebaliknya: ruang pers dibatasi, kritik dibungkam, dan media yang kritis diperlakukan sebagai ancaman.
Seorang bupati tidak cukup hanya cakap dalam urusan politik dan birokrasi. Ia juga harus menguasai pengetahuan tentang demokrasi, termasuk memahami pers sebagai mitra sekaligus pengontrol jalannya pemerintahan. Ketidakmampuan memahami ini hanya akan melahirkan pemerintahan yang anti kritik, penuh kecurigaan, dan miskin transparansi.
Tanimbar membutuhkan pemimpin yang berjiwa besar, yang mampu menerima kritik sebagai vitamin, bukan racun. Jika seorang bupati masih memandang pers sebagai lawan, maka jelas ia belum dewasa dalam berdemokrasi.