Sanggau,Media Jurnal Investigasi – Mesin tambang emas ilegal kembali meraung di atas Sungai Kapuas. Deru mesin ‘jek’ bukan sekadar suara besi, melainkan simbol keserakahan yang terus dilindungi kekuasaan. Di balik lanting-lanting rakit tambang itu, tersimpan satu realita pahit: “PETI Sanggau Jackpot” — tambang ilegal yang bukan hanya merusak lingkungan, tapi juga memperkaya segelintir orang dengan membiarkan hukum dilindas.
Tak hanya soal tambang ilegal, kini istilah "PETI Sanggau Jackpot" menjadi semacam sindiran keras dari masyarakat terhadap praktek eksploitasi emas tanpa izin di wilayah tersebut. Mengapa "jackpot"? Karena para pelaku mendapatkan keuntungan besar, nyaris tanpa hambatan, tanpa izin, dan nyaris tanpa risiko hukum sebab ada perlindungan dari “dalam”.
“Semua sudah ada bagiannya. Selama setoran jalan, nggak akan ada yang ganggu. Mereka bukan sekadar tambang, ini sudah jaringan mafia PETI,” ujar salah seorang warga yang akrab dengan aktivitas di bantaran Sungai Kapuas.
Dari hasil investigasi lapangan, terungkap adanya pola kerja sistematis dan rapi dari para pelaku. Ada yang bertugas sebagai penampung, operator lapangan, penyedia BBM subsidi, hingga yang disebut-sebut sebagai “pelindung” dari aparat penegak hukum (APH).
ASP, diduga sebagai penampung hasil tambang sekaligus pemilik beberapa lanting.
JN, disebut sebagai pengendali operasional mesin jek di lapangan.
AWG, penyedia solar bersubsidi yang semestinya hanya untuk keperluan rakyat kecil — kini diduga digunakan untuk mesin-mesin PETI.
Dan lebih mencengangkan lagi, adanya dugaan kuat setoran rutin ke oknum APH demi kelancaran operasi tambang ilegal tersebut.
“Siapa yang jaga? Ya, mereka sendiri (oknum). Kalau nggak ada lampu hijau dari ‘atas’, mana mungkin tambang bisa bebas siang malam,” ucap sumber lainnya yang mengetahui praktik tersebut.
Publik menilai, pembiaran yang terjadi saat ini bukan lagi karena keterbatasan aparat, melainkan karena adanya indikasi keterlibatan. Ketika media dan aktivis lingkungan berteriak soal kerusakan ekosistem dan pencemaran sungai, aparat seolah tuli. Padahal, Sungai Kapuas adalah urat nadi kehidupan ribuan warga yang bergantung pada air bersih dan ekosistem sungai.
Aktivitas PETI ini tidak hanya merusak dasar sungai dan mencemari air dengan merkuri, tetapi juga mengancam keberlanjutan hidup masyarakat di hilir. Namun, suara mesin jek terus bergaung, menandakan bahwa kegiatan ini jauh dari kata “sementara” — melainkan sudah menjadi industri gelap yang dikelola oleh mafia tambang dengan ‘izin’ tak tertulis.
Beberapa undang-undang yang diduga dilanggar dalam praktik “PETI Sanggau Jackpot” antara lain:
1. UU No. 32 Tahun 2009 (Lingkungan Hidup) – Pasal 98: Pidana 3–10 tahun & denda hingga Rp10 miliar.
2. UU No. 3 Tahun 2020 (Pertambangan Minerba) – Pasal 158: Pidana hingga 5 tahun & denda Rp100 miliar.
3. UU No. 22 Tahun 2001 (Migas) – Pasal 55: Penyalahgunaan BBM Subsidi, pidana hingga 6 tahun & denda Rp60 miliar.
4. UU No. 31 Tahun 1999 (Pemberantasan Korupsi) – Pasal 12: Jika terbukti adanya gratifikasi ke oknum APH, bisa dikenakan pidana penjara hingga 20 tahun atau seumur hidup.
Kondisi ini tak bisa dibiarkan. Jika aparat, pemerintah, dan lembaga penegak hukum tetap bungkam, masyarakat akan semakin kehilangan kepercayaan terhadap negara. Apa jadinya jika hukum hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas?
Jika memang benar ada “oknum pelindung” di balik operasi PETI ini, maka mereka bukan hanya melanggar sumpah jabatan — tetapi juga merampas masa depan generasi Sanggau.
“Ini bukan sekadar tambang liar. Ini sistem liar. Dan yang melindunginya bukan preman biasa, tapi orang berseragam,” pungkas seorang aktivis lingkungan dengan nada getir.
Kasus “PETI Sanggau Jackpot” adalah potret buram wajah penegakan hukum di daerah. Ini bukan soal keterbatasan, ini soal keberanian: apakah aparat penegak hukum masih punya nyali melawan mafia tambang atau justru menjadi bagian darinya...
Tim