Tanimbar, Jurnalinvestigasi.com - Di bawah langit Jakarta yang berawan, Abdullah Vanath berjalan perlahan menuju halaman Kantor DPP Partai NasDem. Senyumnya tipis, langkahnya terukur. Di balik ketenangan wajah itu, ada cerita panjang tentang perjalanan politik yang belum usai.
Hari itu, 12 November 2025, Partai NasDem merayakan ulang tahunnya yang ke-14. Gedung biru di bilangan Gondangdia ramai oleh kader dan simpatisan. Namun sorotan tak tertuju pada panggung utama, melainkan pada satu sosok yang baru saja datang.
Ketika Surya Paloh menyambutnya dengan pelukan hangat, suasana sejenak hening. “Selamat bergabung di rumah Restorasi,” ucap Paloh disambut tepuk tangan panjang. Kalimat itu menandai babak baru perjalanan seorang politisi kawakan asal Maluku.
Langkah Vanath bergabung dengan NasDem menjadi kejutan besar. Selama ini, ia dikenal sebagai tokoh yang sukar ditebak kadang dekat dengan satu kubu, kadang menjauh tanpa tanda. Publik menyebutnya “Morea”, belut besar yang pandai membaca arus.
Julukan itu bukan sekadar lelucon politik. Di tanah Maluku, Morea melambangkan kecerdikan, keluwesan, dan kemampuan bertahan di arus deras. Sifat-sifat itulah yang tampaknya melekat kuat dalam gaya politik Abdullah Vanath.
“Abdullah Vanath selalu tahu kapan harus muncul dan kapan harus diam. Ia bukan politisi yang bermain di permukaan, tetapi yang memahami kedalaman arus,” kata Haji M.S. Pelu, M.Pd., Pemerhati Sosial dan Budaya Maluku, kepada Jurnalinvestigasi.com melalui pesan pribadi WhatsApp, Kamis (13/11/2025).
Menurut Pelu, Vanath adalah potret politisi yang memiliki kepekaan sosial tinggi. Ia tidak sekadar hadir di panggung politik, tetapi hadir dalam kehidupan rakyat kecil mendengar, menyimak dan bertindak dalam waktu yang tepat.
“Beliau punya intuisi politik yang jarang dimiliki banyak orang. Ketenangannya sering disalahartikan sebagai pasif, padahal justru itu strategi yang matang,” ujarnya.
Bagi masyarakat Maluku, nama Abdullah Vanath bukan sekadar tokoh pemerintahan. Ia adalah bagian dari sejarah panjang perjuangan politik daerah dari masa-masa pasca reformasi hingga kini. Kiprahnya telah menorehkan warna di hampir setiap fase politik lokal.
Beberapa tahun terakhir, Vanath memilih langkah sunyi. Ia jarang tampil di media, lebih banyak berada di daerah, mendengar keluhan rakyat, dan memantau dinamika pemerintahan dari jauh. Seolah menunggu waktu yang tepat untuk kembali.
Langkah itu kini terjawab. Dengan bergabung ke NasDem, Vanath bukan hanya menambah satu partai di daftar riwayat hidupnya, tetapi juga mengirim sinyal politik yang mengguncang peta kekuatan di Maluku.
“Ini langkah strategis. Vanath tahu NasDem sedang memperkuat basis di wilayah timur. Ia datang bukan sebagai penumpang, tapi sebagai nahkoda baru yang akan mengarahkan kapal,” jelas Pelu.
Menurut Pelu, keputusan Vanath tidak bisa dilihat sebagai perpindahan biasa antarpartai.
“Ini bagian dari konsolidasi nilai. Beliau ingin memperjuangkan Maluku dalam wadah yang memberi ruang bagi idealisme dan gagasan besar. NasDem adalah rumah yang menurutnya bisa menampung energi itu,” tambahnya.
Dari Jakarta hingga Ambon, kabar itu menyebar cepat. Dari kafe ke perkantoran, dari pelabuhan ke pasar, masyarakat membicarakan satu hal: “Morea kembali ke permukaan.”
Bagi sebagian orang, langkah itu mengandung makna simbolik. Ia bukan hanya kembali ke gelanggang politik, tapi juga meneguhkan semangat untuk membawa Maluku ke panggung nasional.
“Vanath bukan tipe politisi yang mengejar posisi. Ia lebih memikirkan efek jangka panjang bagi daerah. Karena itu, setiap langkahnya selalu punya pesan strategis,” tutur Pelu.
Dalam pandangan Pelu, gaya politik Vanath mencerminkan filosofi orang Maluku: diam bukan berarti lemah, dan tenang bukan berarti menyerah.
“Ia seperti laut di timur sana tampak tenang di permukaan, tapi menyimpan kekuatan besar di dalamnya,” katanya menggambarkan.
Langkahnya meninggalkan Partai Golkar beberapa waktu lalu sudah menjadi tanda perubahan arah. Ia memilih tidak lagi mencalonkan diri dalam Musda Golkar Maluku, keputusan yang kala itu menimbulkan banyak tanda tanya. Kini, semuanya terjawab.
“Keputusan itu bukan karena konflik, tapi karena visi. Vanath ingin ruang politik yang lebih terbuka bagi ide-ide pembaharuan. Di NasDem, ia melihat peluang untuk memperjuangkan gagasan itu,” lanjut Pelu.
Dalam catatan wartawan, Abdullah Vanath pernah mencalonkan diri sebagai Gubernur Maluku secara independen dan menembus putaran kedua pencapaian yang jarang terjadi di provinsi ini tanpa dukungan partai besar. Fakta itu membuktikan kekuatan personal dan daya tarik elektoralnya yang tidak bisa diremehkan.
Menurut Pelu, kekuatan terbesar Vanath bukan hanya pada popularitasnya, tetapi pada kemampuannya membaca waktu.
“Beliau selalu muncul di saat yang paling menentukan. Ia tahu kapan harus berada di tengah, dan kapan harus menepi. Itulah yang membuatnya disebut Morea, politisi yang selalu selangkah di depan arus,”jelasnya.
Di mata kader muda NasDem, kehadiran Vanath menjadi inspirasi baru. Ia dianggap mampu menjembatani generasi tua dan muda, membangun komunikasi politik yang santun, dan menanamkan semangat restorasi dalam konteks lokal Maluku.
Pelu menilai, NasDem di Maluku akan mendapatkan keuntungan strategis dari bergabungnya Vanath.
“Beliau punya jejaring kuat di akar rumput, hingga ke pulau-pulau kecil di Kei, Buru, dan Seram. Dalam politik lokal, jaringan seperti itu adalah kekuatan sesungguhnya,” paparnya.
Namun, Pelu juga menegaskan bahwa perjalanan politik Vanath bukan tanpa tantangan.
“Dalam setiap langkah besar, pasti ada yang setuju dan tidak setuju. Tapi Vanath selalu punya cara sendiri untuk menghadapi badai. Ia tidak melawan arus, tapi menunggu saat yang tepat untuk mengubah arah arus itu,” ujarnya menegaskan.
Bagi Pelu, figur Vanath adalah simbol kesinambungan antara masa lalu dan masa depan politik Maluku.
“Beliau memahami dinamika lokal, tapi juga berpikir dengan perspektif nasional. Itu kombinasi yang langka di antara politisi kita hari ini,”terangnya.
Ketika malam turun di Jakarta dan lampu gedung DPP NasDem mulai redup, Abdullah Vanath berdiri sejenak di halaman. Ia menatap langit gelap, seolah menatap masa depan yang masih panjang dan penuh kemungkinan.
“Politik bukan sekadar tentang jabatan,” kata Pelu mengutip perbincangannya dengan Vanath beberapa waktu lalu. “Ini soal waktu, kesetiaan, dan kesempatan untuk memberi makna bagi tanah kelahiran.”
Mungkin karena itu, langkah sunyi Abdullah Vanath terasa bergaung jauh melampaui ibukota. Ia bukan sekadar bergabung dengan partai baru ia sedang menulis ulang kisahnya sendiri.
Dan di antara riuh panggung politik nasional, Morea itu kembali berenang diam, tapi pasti menentukan arah arus politik Maluku. (NFB)


