-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Revisi UU ITE bagi Wartawan Harus Masuk salah Satu Agenda Capres 2024

09 Oktober 2023 | 9:11:00 AM WIB | 0 Views Last Updated 2023-10-09T18:35:09Z
Sunoko,SH (foto/dok.Sunoko)

EDITORIAL, Jurnal Investigasi.com - Sebagai Pilar ke Empat Demokrasi Peran wartawan sebagai penyeimbang Pemerintah sejatinya adalah peran yang sangat krusial, sebagai kontrol sosial tugas jurnalistik yang di lakukan oleh wartawan masih rentan di kriminalisasi.


Presiden Joko Widodo pada awal 2021 lalu sempat mengungkapkan ingin melakukan perubahan dalam pasal-pasal bermasalah pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dalam keterangannya, Jokowi menyadari bahwa pasal-pasal karet merupakan hulu dari penyalahgunaan regulasi, penafsiran terhadap tiap bulir pasal yang berbeda-beda dapat dengan mudah diinterpretasikan secara sepihak.


Namun, sayangnya janji manis itu hanya sebatas angin lalu. Hingga 2021 berakhir bahkan hingga kini, UU ITE tak kunjung direvisi. Pemerintah menawarkan solusi sementara dengan menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang pedoman kriteria implementasi dari UU ITE, tetapi tetap saja hal tersebut tidak menghentikan sejumlah pihak melayangkan pidana untuk para korban.


Sejumlah kasus yang menimpa wartawan dengan pasal UU ITE banyak di jerat dengan UU ITE tersebut, apalagi jika yang melaporkan dari kalangan pejabat maka kasus tersebut akan terus di proses tanpa melihat SKB tiga menteri tentang pedoman implementasi UU ITE


Pasal 27 dan 28 UU ITE harus direvisi. Bahkan bila perlu rumusan Pasal 27 dan Pasal 28 itu dihapus untuk menghindari kriminalisasi pekerja jurnalis. “Banyak jurnalis yang menyebarkan informasi berdasarkan hasil kerja jurnalistik malah berurusan dengan hukum (dijerat UU ITE)


kebebasan pers merupakan amanat konstitusi yang dijamin UUD Tahun 1945. Kendatipun tak diatur secara eksplisit, namun elemen kebebasan pers jelas diatur dalam konstitusi. Seperti kebebasan berpikir, menyampaikan pendapat, berkomunikasi dan hak atas informasi.


pengakuan atas kebebasan pers dalam konsititusi negara semestinya tercermin dalam pembuatan peraturan perundang-unudangan sebagai turunan dari UUD 1945. Sebab, kebebasan pers menjadi salah satu pilar penting sebuah negara hukum dan demokrasi. Karena itu, perlindungan terhadap pers mesti dituangkan dalam peraturan perundangan yang berlaku.


Faktanya, tak semua ketentuan peraturan perundang-undangan melindungi media pers dan jurnalisnya. Masih terdapat sejumlah ketentuan yang mengancam dan menggerus hak atas kebebasan pers. Salah satu diantaranya UU ITE. “Meskipun UU ITE diklaim tidak menyasar pers, namun nyatanya terdapat banyak kasus wartawan yang dijerat dengan UU kontroversial ini, bahkan hingga divonis bersalah oleh hakim


pemerintah harus memberi perlindungan terhadap media dan pers sebagaimana diatur dalam Pasal 28F UUD Tahun 1945 yang intinya kebebasan pers merupakan hak asasi. Pasal 28F UUD Tahun 1945 tersebut menyebutkan, 


“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”


indeks kebebasan pers di Indonesia masih dalam zona merah atau kondisi buruk. Hal itu berdasarkan hasil laporan Reporters Without Borders (RSF) tahun 2021. Disebutkan, indeks kebebasan pers di Indonesia berada di rangking 113 dari 180 negara. "Meski naik enam tingkat, namun RSF masih menempatkan kebebasan pers di Indonesia dalam zona merah atau buruk


Di Majalengka, Kasus Pemimpin Redaksi media online jejak investigasi.com masih terus bergulir di polres Majalengka, provinsi Jawa Barat, berawal dari pemberitaan tentang dugaan pernikahan poliandri seorang perempuan berinisial IM (yang di duga  masih berstatus istri sah dari seseorang, RED) dengan seorang Pria berinisial AAZ 


Pelaporan yang di lakukan oleh DK dan UZ Di nilai banyak Pihak Berupaya Mengkriminalisasi Ato hendarto, seharusnya mekanisme hak jawab di tempuh keduanya apabila tidak terima dengan pemberitaan yang di buat oleh ato Hendarto,  terutama yang di soalkan perihal nama organisasi dan juga nama partai politik yang di muat oleh media jejak investigasi.


Partai politik dan juga organisasi keagamaan DK dan UZ  seharusnya  bijak dalam menyikapi pemberitaan oleh wartawan, apalagi jika pemberitaan tersebut sudah melalui konfirmasi langsung yang bersangkutan, artinya kode etik jurnalistik sudah di lakukan. 


Sebagai salah satu partai politik nasional dan juga organisasi keagamaan yang besar tentu nya tidak luput dari kritik, dan penting nya memahami kritik sebagai dinamika dalam berdemokrasi, apalagi karya jurnalistik tentu nya di lindungi oleh UU pers.


Lucu nya, ketika melihat pernyataan oknum pengacara DK dan UZ di salah satu media online mengatakan bahwa perusahaan media harus terdaftar/terverifikasi di dewan pers, dan diri nya membuat opini yang dapat di sinyalir sebagai upaya mengkerdilkan kebebasan pers nasional.


Padahal edaran Dewan pers terbaru jelas mengatakan bahwa perusahaan media tidak wajib mendaftar ke dewan pers, pendataan perusahaan media kembali lagi ke perusahaan yang bersangkutan apakah mau masuk pendataan atau tidak.


Sementara itu, sepanjang 2017-2021, setidaknya ada 24 jurnalis yang menjadi korban pasal karet di UU ITE. Itu bisa menjadi salah satu parameter iklim kebebasan berinternet dan keamanan digital masih belum sepenuhnya tercipta.


Selama ini UU Pers sebetulnya instrumen yang sudah cukup baik untuk melindungi kerja-kerja jurnalistik. Sayangnya, dalam proses implementasi, kondisi ideal ini tidak tercapai. UU Pers sering dikesampingkan dalam memproses kasus-kasus yang melibatkan jurnalis.


Hal ini juga berlaku dengan SKB pedoman implementasi, juga MoU. Semuanya tampak ideal hanya di tataran pusat, tetapi ketika kita cek ke daerah-daerah lain, banyak sekali aparat penegak hukum yang tidak paham, bahkan tidak tahu ada dua instrumen ini.


Idealnya aparat penegak hukum (kepolisian/kejaksaan) bisa mensosialisasikan SKB dan MoU hingga ke anggota mereka hingga ke daerah-daerah pelosok Indonesia.


Tentunya juga perlu peningkatan pemahaman untuk aparat penegak hukum dan masyarakat sipil terkait dengan kerja-kerja jurnalistik. Apa dampaknya bagi demokrasi dan kenapa kerja jurnalis tidak boleh dihalang-halangi, termasuk dengan ancaman pidana UU ITE.


(Penulis adalah Pemimpin redaksi media jurnal investigasi, Advocat, pemerhati kebijakan publik)

×
Berita Terbaru Update