Kubu Raya,Media Jurnal Investigasi-Didesa kecil bernama Durian, Kecamatan Sungai Ambawang, sebuah proyek negara sedang berlangsung: pembangunan Gardu Induk 150 KV Ambawang New milik PT PLN (Persero). Tapi yang menarik dari proyek ini bukan hanya kabel tegangan tinggi atau kontraktor bernama KSO Indisi–Hasta. Yang paling menyita perhatian justru bukan apa yang terlihat, melainkan apa yang sengaja disembunyikan.
Papan proyeknya tak mencantumkan nilai kontrak. Tidak ada transparansi anggaran. Tak ada jadwal pelaksanaan yang pasti. Dan lebih dari itu, muncul oknum wartawan atau oknum yang mengaku wartawan? —lengkap dengan kartu pers dan nada tinggi—yang membela proyek dan mengusir wartawan lain.
Seketika saya sadar: ini bukan sekadar pelanggaran administrasi. Ini adalah indikasi matinya integritas pers.
"Jika Wartawan seharusnya menjadi penjaga pintu kebenaran. Tapi ketika seorang jurnalis berubah menjadi pelindung proyek yang ditutup-tutupi, ia bukan lagi suara rakyat—melainkan ekstensi dari sistem yang ingin membungkam publik" Ungkap Hadysa Prana, Ketua Umum Rangkulan Jajaran Wartawan dan Lembaga Indonesia (RAJAWALI)
Kita tidak bicara tentang satu orang. Kita sedang bicara tentang bagaimana profesi bisa dipakai untuk mengatur narasi, membelokkan sorotan, dan mengunci ruang verifikasi.
"Saya menyebut ini bukan hanya penyalahgunaan profesi. Ini berpotensi persekongkolan diam-diam, dan dalam banyak kasus, pemeliharaan rente melalui kartu pers" Ujarnya
Mari kita bicara hukum. Dalam Pasal 6 Kode Etik Jurnalistik, jelas tertulis bahwa wartawan “tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.” Tegasnya
Dalam Pasal 7 ayat (2) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, wartawan diwajibkan menaati Kode Etik. Artinya, pelanggaran terhadap etik adalah juga pelanggaran terhadap hukum positif.
Dan bila ditelusuri lebih dalam, Pasal 21 UU Tipikor membuka pintu bagi penindakan pidana terhadap siapa pun yang “menghalangi atau merintangi secara langsung maupun tidak langsung proses penyelidikan, penyidikan, atau penuntutan perkara korupsi.” Tegas Ketum
"Kalau benar dia seorang wartawan mengusir media lain dari lokasi proyek, melindungi pelaksana, dan bahkan menerima keuntungan, maka ia telah berpindah posisi: dari jurnalis ke tersangka potensial" Sambungnya
Papan proyek yang kosong bukan sekadar kelalaian. Ia adalah simbol kebijakan yang tidak ingin diawasi. Dan ketika wartawan berdiri sebagai penjaga papan itu agar tetap kosong, maka ia sedang menyabotase hak publik atas informasi—hak yang dijamin oleh Pasal 28F UUD 1945.
Kita hidup di republik yang menjunjung akuntabilitas, tapi setiap proyek yang menghilangkan informasinya adalah tamparan bagi prinsip demokrasi itu sendiri.
Dewan Pers Tak Boleh Diam
Pers adalah profesi yang lahir dari semangat kritik, bukan dari kenyamanan kuasa. Dewan Pers harus segera memeriksa oknum wartawan tersebut. Bila terbukti, bukan hanya sanksi etik yang layak diberikan, tapi juga rekomendasi pelaporan pidana kepada aparat hukum.
Kita tidak butuh wartawan yang pandai berbicara di forum, tapi diam saat uang negara dijarah di lapangan. "Kita butuh wartawan yang berani berkata: Saya tidak dibayar untuk diam.” Ujar Ketum dengan Lantang
Saya menulis ini dari titik sunyi di Kalimantan Barat. Tapi suara sunyi inilah yang seharusnya mengguncang pusat-pusat kekuasaan . Di tengah proyek bernilai miliaran rupiah, rakyat sekitar bahkan tidak tahu apa yang sedang dibangun di tanah mereka.
Tidak ada sosialisasi. Tidak ada izin bangunan yang dipublikasikan. Parit-parit warga ditutup. Dan wartawan, alih-alih membela warga, justru menjaga perimeter proyek.
Pers Harus Kembali ke Jalan Terang
Ketika profesi wartawan dipakai untuk menutup suara rakyat, maka negara sedang kehilangan salah satu inderanya. Demokrasi cacat bukan karena kekuasaan yang kuat, tetapi karena pengawasan yang dibungkam.
Saya menulis ini bukan untuk menjatuhkan profesi jurnalis—tapi untuk menyelamatkannya. Karena pers yang sehat tidak takut mengusik, dan wartawan yang jujur tidak takut ditinggal oleh proyek.
Sudah saatnya kita bersihkan mikrofon dari suara yang dibayar. Dan kembalikan kamera ke arah yang benar—ke arah kebenaran.
"Jika Anda menemukan jurnalis yang melindungi proyek gelap, jangan diam. Laporkan. Demokrasi hanya bertahan sejauh publik bersuara" Tutup orang nomor satu di DPP RAJAWALI
tim