Pontianak – Pembangunan Mal Living Plaza di kawasan Sungai Raya Dalam, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, kini menjadi sorotan publik. Proyek yang digadang-gadang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi daerah tersebut justru memunculkan polemik dan keresahan masyarakat, terutama terkait ancaman banjir, limbah, hingga ketidakjelasan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Informasi yang beredar bahkan menyebutkan bahwa kepala desa setempat tidak mengetahui adanya pembangunan di wilayah hukumnya. Fakta ini mempertegas dugaan bahwa proses pembangunan Mal Living Plaza berjalan tanpa koordinasi dan transparansi.
Dari perspektif hukum, aturan tentang pembangunan gedung sangat jelas. Setiap pendirian bangunan wajib memiliki Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) sebagaimana diatur dalam:
Pasal 24 dan Pasal 185B Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 16 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
Selain itu, pembangunan skala besar seperti mal juga wajib memiliki dokumen lingkungan, yakni AMDAL, sebagaimana diatur dalam:
PP No. 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan;
serta UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Jika benar pembangunan dilakukan tanpa PBG dan tanpa AMDAL, maka pengembang dapat dikenakan sanksi mulai dari penghentian proyek, pencabutan izin, hingga pidana penjara, sesuai Pasal 40 dan Pasal 109 UU No. 32/2009.
Selain itu, jika proyek terbukti tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), ancaman hukuman semakin berat, termasuk denda miliaran rupiah serta ancaman pidana kurungan, sebagaimana diatur dalam UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang mengubah sejumlah ketentuan di bidang perizinan lingkungan dan tata ruang.
Menurut Dr. Herman Hofi Munawar, SH, Pengamat Kebijakan Publik, kasus ini menunjukkan adanya persoalan serius dalam tata kelola pembangunan di daerah.
“Jika benar pembangunan Mal Living Plaza tidak memiliki PBG dan dokumen AMDAL, maka ini jelas pelanggaran hukum. Pemerintah daerah tidak boleh menutup mata. Apalagi jika kepala desa sendiri tidak mengetahui, ini berarti koordinasi dan transparansi sangat lemah,” tegas Dr. Herman, Sabtu (16/8/2025).
Ia menambahkan, pembangunan yang mengabaikan prosedur bukan hanya masalah administrasi, tetapi juga berdampak sosial. Warga Sungai Raya Dalam khawatir banjir akibat hilangnya resapan air, sementara pemerintah daerah terkesan tidak membuka ruang dialog.
“Pembangunan seharusnya membawa manfaat, bukan keresahan. Warga berhak tahu, dilibatkan, dan mendapatkan jaminan perlindungan lingkungan. Jangan sampai investasi menjadi dalih untuk mengabaikan hukum,” tambahnya.
Dari sisi sosial, proyek ini bak bara dalam sekam. Warga merasa terabaikan karena tidak ada konsultasi publik. Kekhawatiran soal banjir dan limbah semakin diperparah oleh minimnya informasi resmi.
Ketidaktahuan Kepala Desa bahkan dianggap sebagai bentuk pengkhianatan terhadap kepercayaan publik, sebab UU No. 6/2014 tentang Desa menegaskan peran kepala desa dalam memastikan pembangunan di wilayahnya sesuai aturan dan melibatkan masyarakat.
Kasus Mal Living Plaza dapat menjadi preseden buruk bila benar proyek besar dibiarkan berjalan tanpa perizinan lengkap. Pembangunan yang seharusnya memperkuat ekonomi justru dapat melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah.
Dr. Herman Hofi Munawar menegaskan, jalan keluar terbaik adalah menghentikan sementara proyek hingga seluruh dokumen hukum, perizinan, dan AMDAL dipenuhi. Pemerintah daerah juga harus membuka ruang dialog dengan masyarakat agar keresahan warga terjawab secara tuntas.
“Kita butuh pembangunan, tetapi bukan pembangunan yang mengorbankan hukum dan kepentingan rakyat. Tanpa kepatuhan hukum, proyek sebesar apa pun tidak akan membawa kemajuan yang berkelanjutan,” pungkas Dr. Herman.
NS : Dr.Herman Hofi Munawar, SH
Red/m,Supandi....