Jelajahi

Kategori
Best Viral Premium Blogger TemplatesPremium By Raushan Design With Shroff Templates
{{ date }}
{{ time }}
DIGITAL CLOCK with Vue.js

Filsafat Bongkar Skandal Marten Fariman: Dari Penjaga Demokrasi Jadi Tukang Buli Akademisi

MALUKU - JURNALINVESTIGASI
25 Oktober 2025
Last Updated 2025-10-25T03:13:12Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates


Oleh: Irwan Salembun, S.Fils


Dalam panggung demokrasi Tanimbar yang seharusnya diisi dengan diskursus rasional, muncul sebuah pernyataan yang menggemakan suara kekuasaan, bukannya suara kebenaran. Marten Fariman, yang menduduki posisi di DPC GAMKI Kepulauan Tanimbar, dengan garang menyerang seorang akademisi yang menyodorkan analisis rezim hibrida untuk pemerintahan Bupati Ricky Jauwerissa.


Ini bukan lagi sekadar bantahan politik, melainkan sebuah preseden berbahaya yang menggerogoti fondasi demokrasi deliberatif dari akarnya. Dan posisi Fariman yang disebut-sebut sebagai staf Bawaslu, jika benar, mengubah pernyataan arogan ini dari sekadar polemik menjadi pengkhianatan intelektual dan institusional terhadap prinsip netralitas yang menjadi jiwa setiap lembaga pengawas pemilu.


Dari kacamata filsafat politik, narasi yang dibangun Fariman adalah bentuk kekeliruan berpikir (fallacy) yang paling primitif, yaitu argumentum ad populum. 


Dengan berkata Ricky Jauwerissa adalah hasil kedaulatan rakyat dan simbol pilihan rakyat, dia seolah mengklaim bahwa kebenaran mutlak telah dimiliki oleh satu pihak hanya karena jumlah suara di bilik pencoblosan.


Filsuf Jürgen Habermas mengingatkan kita tentang konsep ruang publik, sebuah arena di mana kebenaran tidak ditentukan oleh klaim mayoritas atau otoritas penguasa, melainkan lahir dari diskursus rasional yang bebas dan setara. 


Dengan menyamakan kritik akademis sebagai menghina kehendak rakyat, Fariman bukan hanya salah alamat, tetapi juga mengerdilkan demokrasi menjadi sekadar ritual penghitungan suara, lalu kemudian membungkamnya. Ini adalah logika yang anti-dialektika dan menutup pintu bagi penalaran.


Lebih parah lagi, Fariman menunjukkan kedangkasan pemahaman akademisnya. Konsep rezim hibrida bukanlah umpatan, melainkan sebuah alat analisis politik yang sah dalam khazanah ilmu politik kontemporer. 


Konsep ini justru lahir untuk mendeskripsikan fenomena nyata di mana formalitas demokrasi (seperti pemilu) dipertahankan, sementara substansi demokrasi, seperti kebebasan berpendapat, check and balances, dan akuntabilitas, digerogoti secara sistematis.


Dengan gegabah mencapnya sebagai distorsi intelektual dan opini menyesatkan, Fariman membuktikan bahwa yang terjadi bukanlah debat ide, melainkan upaya stigmatisasi terhadap pemikiran kritis. 


Seharusnya, sebagai bagian dari masyarakat sipil (GAMKI) dan terlebih sebagai staf Bawaslu, respons yang diajukan adalah bantahan argumentatif berbasis data, bukan politik pencitraan dan pembalikan korban.


Di sinilah letak skandal sesungguhnya. Jika Fariman benar adalah staf Bawaslu, maka pernyataannya bukan lagi sekadar pelanggaran etika politik, melainkan pelanggaran kode etik institusional yang paling mendasar.


Dalam filosofi tata kelola, Bawaslu adalah penjaga prosedur dan imparsialitas. Posisinya dalam demokrasi ibarat hakim yang harus adil dan berada di atas semua kepentingan. 


Prinsip netralitas ini bersifat deontologis, sebuah kewajiban moral yang melekat pada dirinya, terlepas dari hasil atau kepentingan pragmatis apa pun.


Dengan terang-terangan membela dan memuji-muji seorang pemimpin yang diawasi oleh institusinya sendiri, sebutannya bahwa pemerintahan RJ bekerja, membangun, dan terbuka, Fariman telah:


Melanggar Etika Institusi. Dia merobohkan tembok pemisah antara pengawas dan yang diawasi. Aksi ini mengubahnya dari pengawas yang objektif menjadi jubir yang subjektif.


Mereduksi Kredibilitas Demokrasi. Jika seorang staf Bawaslu sudah mengambil sikap politik sedemikian vulgar, atas dasar apa masyarakat akan mempercayai integritas pengawasan pemilu di masa depan? Ini menciptakan persepsi bahwa lembaga pengawas sudah terkooptasi.


Mencekik Suara Kritis. Dengan posisinya yang punya otoritas, pernyataannya berubah menjadi semacam fatwa politik yang berpotensi menakut-nakuti dan mendelegitimasi suara kritis lain, termasuk dari akademisi.


Pada akhirnya, narasi Fariman mencerminkan pemahaman demokrasi yang sempit dan prosedural. 


Demokrasi direduksi hanya menjadi pesta lima tahunan, sementara esensinya sebagai sistem yang hidup, yang harus terus-menerus diperiksa, dikritik, dan diperbaiki, justru ditelanjangi.


Filsuf Karl Popper mengingatkan kita pada bahaya esensialisme dalam politik, keyakinan keliru bahwa seorang pemimpin memiliki esensi kebenaran mutlak hanya karena berasal dari rakyat. 


Bagi Popper, kritik adalah jantung dari masyarakat terbuka, metode untuk menghindari kesalahan dan mencegah tirani.


Oleh karena itu, siapa yang sebenarnya merendahkan pilihan rakyat dan mencederai kehormatan demokrasi? 


Bukan sang akademisi dengan analisis rezim hibridanya yang metodologis, melainkan justru Marten Fariman sendiri. 


Seorang yang diduga memiliki posisi ganda itu telah menginjak-injak prinsip netralitas, memelintir fungsi kritik, dan pada akhirnya, melemahkan sendi-sendi rasionalitas yang menopang kehidupan demokrasi yang sehat di Tanimbar.


Seharusnya, sebagai seorang yang berkaitan dengan Bawaslu, diamnya jauh lebih bermartabat daripada pernyataan-pernyataan arogan yang tidak mencerminkan sikap imparsial sedikit pun.

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl