Jakarta, Jurnalinvestigasi.com — Ada perubahan suasana yang sulit diabaikan di Tanimbar. Dalam beberapa bulan terakhir, ruang publik yang dulu riuh oleh kritik dan desakan perubahan kini berubah seperti lorong panjang: sepi, bergaung, dan entah kenapa terasa menekan. Dalam pengamatan redaksi, keheningan itu bukan keheningan biasa. Ada aroma keteraturan yang terlalu rapi, seolah seseorang merapikan meja yang tadinya berantakan dalam hitungan menit.
Aktivis yang dulu berdiri paling depan kini seperti bayangan yang tak bersuara. Vocal Grup Emperan yang dulu menjadi simbol keberanian, kini malah seperti kehilangan napasnya sendiri. Warga menirukan satu kalimat yang kini sering mampir dalam obrolan mereka: “Mereka sudah terlalu dekat dengan kekuasaan, jadi tak mungkin bersuara lagi.” Kalimat pendek, tetapi nadanya mengiris.
Yang menjadi inti persoalan adalah hilangnya fungsi kontrol dari kelompok sipil pada saat persoalan publik justru menumpuk. Kasus obat kedaluwarsa di RSUD PP Magretti, misalnya. Belum lagi tumpukan utang pihak ketiga yang terus menekan fiskal daerah. Publik menunggu suara, tetapi yang muncul justru diam-diam yang panjang, diam yang tak wajar.
Tak dapat diabaikan pula bahwa janji-janji kampanye Bupati Tanimbar Ricky Jauwerissa seperti anggaran RT Rp200–300 juta belum juga terlihat ujungnya. Sementara itu, RPJMD yang menjadi fondasi arah pembangunan tak kunjung ditetapkan meski masa jabatan Bupati sudah masuk bulan ke-9. Di titik inilah pemerintah daerah seharusnya hadir memberikan kepastian, bukan membiarkan ruang publik dipenuhi tanda tanya.
Dalam catatan redaksi, pola hubungan antara aktivis dan pemerintah daerah kini seperti benang yang terlalu sering ditarik: elastisnya hilang, bentuknya tak lagi sama. Bukan lagi hubungan yang saling mengawasi, tetapi hubungan yang tampak terlalu hangat. Beberapa warga menggambarkannya lebih lugas, “Mereka sudah di bawah ketiak Bupati.” Sebuah kalimat yang mungkin kasar, tetapi tak bisa dipisahkan dari realitas yang ada.
Yang membuat suasana semakin ganjil adalah adanya dugaan keterlibatan sejumlah aktivis dalam proyek dan jabatan strategis pemerintah daerah. Dugaan ini tentu harus diuji, tetapi diamnya mereka dalam berbagai isu besar membuat publik kesulitan menganggapnya sekadar fitnah waktu senggang. Ada irisan ganjil antara keheningan dan kepentingan yang terlalu kebetulan.
Redaksi menilai, ketika aktivisme kehilangan independensinya, maka ia berubah menjadi ornamen kekuasaan saja. Indah di luar, kosong di dalam. Padahal, dalam demokrasi lokal, suara kritis adalah alat ukur kesehatan masyarakat. Tanpa itu, pemerintah berjalan tanpa penyeimbang, dan rakyat berjalan tanpa perlindungan.
Keheningan kelompok yang berada dalam Vocal Grup Emperan hari ini bukan hanya membuat ruang publik remang, tetapi juga mengundang rasa was-was. Jika isu obat kedaluwarsa saja dibiarkan tanpa pengawalan, apa jadinya isu yang lebih besar di kemudian hari? Publik berhak mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi, karena kegelapan informasi adalah tempat favorit bagi kesalahan tumbuh diam-diam.
Pemerintah daerah perlu membuka kembali pintu transparansi selebar mungkin. Data anggaran, pengadaan obat, hingga progres kebijakan publik harus dibagikan secara berkala. Pengawasan internal harus berjalan, bukan menunggu aktivis yang kini tampak kehilangan marwah karena sebagian dari mereka sudah mengisi bangku-bangku strategis, termasuk di BUMD Tanimbar.
Para aktivis yang kini berada dalam lingkar kekuasaan juga harus kembali menatap cermin moralnya. Mereka pernah berdiri di depan membawa mandat rakyat. Dan mandat itu tak hilang hanya karena jabatan baru atau kedekatan politik. Kritik bukan permusuhan. Kritik adalah pengingat agar kekuasaan tak lupa batasnya.
Legislatif sebagai rumah rakyat pun perlu lebih tegas. Keterlambatan RPJMD adalah persoalan serius; tanpa dokumen itu, pembangunan berjalan seperti kapal tanpa kompas. Wakil rakyat harus memastikan bahwa kebijakan yang lahir tidak hanya taat aturan, tetapi juga menjawab kebutuhan masyarakat.
Pada akhirnya, yang paling mengganggu bukanlah suara yang keras, tetapi suara yang hilang. Ketika kelompok sipil membisu serempak, ada sesuatu yang tidak beres. Demokrasi lokal kehilangan penjaganya. Tanimbar butuh suara-suara yang kembali jernih dan berani, karena kekuasaan tanpa pengawasan selalu menjelma menjadi bayangan yang lebih gelap dari yang kita kira.
Redaksi — Media Jurnal Investigasi


