Saumlaki, Jurnalinvestigasi.com – Krisis energi rumah tangga melanda Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Maluku. Minyak tanah yang menjadi kebutuhan vital masyarakat kini langka, harga melambung, dan warga terpaksa kembali memakai kayu bakar.
Kelangkaan ini dipicu oleh keterbatasan pasokan resmi serta praktik oplosan minyak tanah menjadi solar rakitan untuk kebutuhan nelayan andon, akibat regulasi pemerintah pusat yang dinilai lebih berpihak pada pendatang daripada warga lokal.
Kelangkaan minyak tanah membuat dapur warga Tanimbar lumpuh. Antrian panjang terlihat di kios-kios saat pasokan datang, sementara harga meroket hingga tak terjangkau masyarakat kecil. Barang vital ini berubah status menjadi komoditas mewah yang sulit diraih.
Kepada Jurnalinvestigasi.com, Anders Luturyali, Aktivis Pemuda Katolik (PK) di Tanimbar menjelaskan, fenomena ini tak lepas dari aktivitas nelayan andon pendatang dari luar Maluku yang menggunakan kapal besar untuk beroperasi di laut Tanimbar. Mereka membutuhkan solar dalam jumlah besar, sementara kuota resmi BBM bersubsidi tidak mencukupi.
“Berdasarkan temuan lapangan, kebutuhan solar nelayan andon mencapai lebih dari 70 ton. Jumlah ini jauh melampaui distribusi resmi. Untuk menutup kekurangan, minyak tanah rumah tangga warga lokal disedot, lalu dioplos dengan minyak kelapa menjadi solar rakitan,” ungkap Luturyali setelah terungkap salah satu agen nelayan andon membeberkan ini dalam rapat resmi yang digelar oleh Anggota DPRD Provinsi Maluku. Senin, (25/08/2025).
Ditambahkan, solar oplosan memang mampu menggerakkan kapal, namun kualitasnya buruk: mesin rawan rusak, lingkungan tercemar, dan yang paling parah, warga kehilangan jatah energi rumah tangga. Praktik ilegal ini menjadi ancaman ganda ekonomi rumah tangga runtuh, lingkungan pun terdampak.
“Biasanya kita beli minyak tanah di kios, tapi sekarang hampir kosong. Kalau ada pun harganya sudah tak sanggup kita beli. Jadi terpaksa kembali ke kayu bakar,” keluhnya.
Krisis ini berlangsung di hampir seluruh wilayah Kabupaten Kepulauan Tanimbar, terutama di desa-desa pesisir termasuk Seira. Pulau-pulau kecil yang jauh dari pusat distribusi paling merasakan dampaknya, dengan suplai yang tersendat dan harga yang lebih mahal.
Ironisnya, kebijakan pemerintah pusat justru menjadi pemicu. Regulasi subsidi BBM lebih berpihak pada nelayan besar dan pendatang, sementara nelayan tradisional Tanimbar yang hanya punya perahu kecil tak mendapat perhatian.
“Regulasi pusat seakan menutup mata. Solar untuk nelayan andon dijamin, tapi nelayan kecil kita dibiarkan mati pelan-pelan. Akhirnya minyak tanah warga dijadikan oplosan, dan rakyat lokal jadi korban,” tegas Luturyali.
Data Pertamina Maluku menunjukkan alokasi solar subsidi di Tanimbar masih jauh di bawah kebutuhan. Sementara itu, minyak tanah dipangkas drastis akibat program konversi ke LPG. Masalahnya, LPG di Tanimbar langka, distribusi buruk, dan harganya selangit.
“Sejak konversi itu, suplai minyak tanah dikurangi terus. Padahal kita di pulau-pulau ini masih sangat bergantung. Lalu masuk lagi nelayan andon yang ambil solar, makin habis semua,” ungkap Luturyali.
Praktik oplosan ini menciptakan pasar gelap BBM di Tanimbar. Warga kecil harus bersaing dengan mafia energi yang mengejar keuntungan besar. Kondisi ini memicu potensi konflik sosial antara nelayan lokal dan nelayan pendatang.
Masyarakat mendesak DPRD dan Pemda Tanimbar untuk memperketat pengawasan distribusi BBM dan meminta pemerintah pusat meninjau ulang regulasi yang timpang. Jika tidak ada intervensi segera, krisis minyak tanah bisa berubah menjadi tragedi sosial: rakyat kelaparan energi, mafia oplosan berkuasa, dan negara kehilangan wibawa di hadapan rakyat kecil. (Nik Besitimur)