Oleh: Nikolas Besitimur (Jurnalis Media Jurnal Investigasi)
Provinsi Maluku selama ini dikenal sebagai lumbung ikan nasional. Kekayaan laut yang membentang dari Kepulauan Aru, Kei, Seram, Banda, hingga Tanimbar, menyimpan potensi yang mampu memberi makan bukan hanya Indonesia, tetapi juga dunia. Namun ironisnya, fakta di lapangan menunjukkan hal sebaliknya: masyarakat nelayan Maluku justru hidup dalam lingkaran kemiskinan yang akut. Kekayaan laut yang semestinya menjadi berkah, berubah menjadi kutukan akibat regulasi perikanan yang jauh dari pro-rakyat.
Kemiskinan yang Membelenggu Rakyat Pesisir
Data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) menegaskan realitas getir itu. Per Maret 2025, tingkat kemiskinan di Maluku masih 15,38 %, dengan jumlah penduduk miskin sekitar 287.760 jiwa. Angka ini memang menurun tipis dibanding September 2024 (15,78 % atau 293.990 jiwa), namun tetap jauh di atas rata-rata nasional yang hanya 9,4 %.
Jika dilihat lebih dalam, kesenjangan terlihat jelas: kemiskinan di perkotaan hanya 4,36 %, sedangkan di perdesaan mencapai 24,61 %. Artinya, kantong kemiskinan terbesar justru ada di desa pesisir dan kepulauan, tempat nelayan menggantungkan hidupnya.
Bila ditarik ke belakang, tren historis memperlihatkan stagnasi: Maret 2022 tingkat kemiskinan 15,97 %, lalu naik 16,23 % (September 2022) dan 16,42 % (Maret 2023). Meski ada penurunan pada 2024–2025, tetap saja angka tersebut menegaskan bahwa kemiskinan di Maluku struktural dan sulit diatasi tanpa perubahan kebijakan yang mendasar.
Kontribusi Besar, Manfaat Kecil
Kontras semakin nyata jika dibandingkan dengan kontribusi sektor perikanan. Maluku dan kawasan timur Indonesia menyumbang nilai perikanan tangkap sekitar Rp 34 triliun, atau hampir 20 % dari total perikanan tangkap nasional.
Namun, apa yang diterima nelayan lokal? Sebuah studi di Maluku Utara (2015) menemukan bahwa sekitar 80 % nelayan lokal hidup di bawah garis kemiskinan, meski nilai tukar nelayan (NTN) saat itu terlihat cukup tinggi (115, di atas rata-rata nasional 106,6). Artinya, meskipun ikan yang ditangkap bernilai besar di pasar, uangnya tidak pernah benar-benar kembali ke saku nelayan kecil.
Tahun 2021, penduduk miskin di wilayah pesisir Indonesia mencapai 1,3 juta jiwa atau sekitar 12,5 % dari total penduduk miskin nasional. Maluku berada di atas rata-rata dengan 16,4 %. Fakta ini menunjukkan adanya paradoks besar: daerah penghasil utama ikan justru menjadi salah satu kantong kemiskinan terbesar.
Kuasa Regulasi yang Mengorbankan Nelayan Kecil
Dalam UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, pemerintah menetapkan pembagian Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPPNRI). Maluku termasuk dalam WPP 714 (Laut Banda dan sekitarnya). Regulasi turunan melalui berbagai Permen KP tampak ideal di atas kertas: mengatur kuota tangkap, izin operasi kapal, hingga keberlanjutan stok ikan.
Namun, di lapangan, regulasi ini justru meminggirkan nelayan tradisional. Skema Penangkapan Ikan Terukur (PIT) yang diperkenalkan pemerintah dengan sistem kuota dianggap “modern” dan “berkelanjutan”. Tapi faktanya, kuota justru disapu habis oleh kapal-kapal besar dari luar Maluku. Nelayan lokal dengan kapal 5–10 GT hanya bisa menonton, tersingkir di lautnya sendiri.
Nelayan Andon: Legalitas untuk Menjajah Laut Maluku
Masalah lain adalah regulasi nelayan andon melalui Permen KP No. 36 Tahun 2023. Aturan ini memberi izin kapal dari Sulawesi, Jawa, dan daerah lain masuk ke perairan Maluku. Hasilnya, ruang tangkap nelayan lokal direbut habis-habisan.
Padahal bagi orang Maluku, laut bukan sekadar ruang ekonomi, melainkan bagian dari identitas dan kearifan lokal. Sistem sasi laut, hak ulayat pesisir, dan petuanan adat sudah ada jauh sebelum republik ini lahir. Namun semua itu diabaikan, seolah hanya regulasi pusat yang punya legitimasi.
Akibatnya, konflik di laut kerap terjadi. Nelayan lokal dengan perahu kayu dan jaring sederhana jelas tak mampu bersaing melawan kapal modern yang membawa jaring besar dan teknologi canggih.
Solar Subsidi: Barang Mewah di Negeri Laut
Masalah BBM subsidi semakin memperparah. Untuk bisa mengakses solar bersubsidi, nelayan wajib mengantongi rekomendasi dari dinas dan mengisi banyak dokumen. Bagi nelayan kecil yang setiap hari sibuk melaut, birokrasi ini jelas mencekik.
Akhirnya, mereka harus membeli solar di pasar gelap dengan harga 2–3 kali lipat. Saat tangkapan menurun akibat persaingan tidak sehat, nelayan lokal pulang melaut dengan rugi. Ironisnya, kapal besar yang berizin lengkap justru lebih mudah mendapatkan solar murah.
Kriminalisasi Atas Nama Konservasi
Permen KP No. 13 Tahun 2021 melarang ekspor benih lobster, kepiting, dan rajungan. Tujuannya baik, yakni menjaga keberlanjutan. Namun implementasinya sering kali justru menjerat nelayan tradisional kecil.
Di Maluku, banyak nelayan ditangkap hanya karena mencari lobster atau biota laut bernilai tinggi demi kebutuhan sehari-hari. Sementara itu, pengusaha besar yang punya modal kuat kerap lolos karena memiliki akses perizinan. Regulasi konservasi yang timpang ini menjadi contoh nyata kriminalisasi berbasis aturan.
Dana Bagi Hasil: Adil di Atas Kertas, Tidak di Realita
Menurut UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat-Daerah, 80 % penerimaan pungutan perikanan dialokasikan sebagai Dana Bagi Hasil (DBH). Tetapi pembagian DBH dilakukan merata berdasarkan luas wilayah laut, bukan volume tangkapan.
Skema ini membuat Maluku sebagai daerah penghasil utama merasa diperlakukan tidak adil. Ikan-ikan yang ditangkap dari laut Maluku menyumbang besar devisa negara, tetapi DBH yang kembali ke rakyat hanya kecil sekali. Jalan desa nelayan tetap berlubang, fasilitas kesehatan minim, sekolah rusak, dan anak-anak pesisir tetap belajar dalam keterbatasan.
Hak Ulayat Laut yang Diterpinggirkan
Konstitusi lewat Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 jelas mengakui keberadaan masyarakat adat. Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 jo. UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pesisir juga memberi ruang pengakuan hak ulayat. Namun sayangnya, implementasi nyaris nol.
Tradisi sasi laut terbukti menjaga ekosistem selama ratusan tahun. Tetapi negara justru menempatkannya hanya sebagai simbol budaya, bukan dasar kebijakan. Padahal jika benar-benar diadopsi, sasi laut bisa menjadi model konservasi berbasis kearifan lokal yang jauh lebih adil bagi masyarakat.
Retorika vs Realita
Dari semua fakta di atas, terlihat jelas bahwa regulasi perikanan di Maluku lebih berpihak pada korporasi dan pusat daripada rakyat. Retorika keberlanjutan dan keadilan yang kerap digaungkan hanya slogan kosong.
Realita: nelayan kecil semakin miskin, hak adat diabaikan, akses BBM sulit, dan keuntungan ekonomi justru dinikmati oleh korporasi besar serta pemerintah pusat.
- Saatnya Negara Menghormati Rakyat Pesisir
- Maluku tidak meminta istimewa. Yang diinginkan hanya keadilan
- Regulasi yang berpihak pada rakyat
- Pengakuan dan perlindungan hak adat
- Akses adil terhadap solar subsidi dan sumber daya laut
- Dana Bagi Hasil yang proporsional bagi daerah penghasil utama.
Sudah saatnya pemerintah berhenti melihat Maluku hanya sebagai “ladang ekonomi”. Laut adalah rumah orang Maluku, tempat identitas lahir, dan sumber kehidupan yang diwariskan turun-temurun.
Jika tidak ada perubahan, maka label “lumbung ikan nasional” hanya akan menjadi ironi abadi: kekayaan melimpah di laut, kemiskinan merajalela di darat. Dan sejarah akan mencatat, regulasi perikanan Indonesia bukanlah payung keadilan, melainkan pedang ketidakadilan yang menebas rakyat kecil di negeri sendiri.
Data BPS, kontribusi perikanan, dan skema DBH membuktikan bahwa regulasi perikanan telah gagal menjawab kebutuhan nelayan Maluku. Alih-alih membawa kemakmuran, kebijakan justru melanggengkan kemiskinan struktural.


