Jelajahi

Kategori
Best Viral Premium Blogger TemplatesPremium By Raushan Design With Shroff Templates
{{ date }}
{{ time }}
DIGITAL CLOCK with Vue.js

Getir Rasa Dikhianati Bapak Sendiri

MALUKU - JURNALINVESTIGASI
21 Oktober 2025
Last Updated 2025-10-21T12:15:12Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates

Sebuah Kajian Filosofis Atas Kebijakan Publik


Penulis: Thomas Buksalwembun, S.Fil

Terdengar getir, memang, ketika kita harus menuliskan narasi tentang seorang Bupati, seorang yang diamanati untuk menjadi primus inter pares, yang pertama di antara yang sederajat, justru mengalihkan wajahnya dari permohonan rakyat, dan menghadapkannya ke dalam jeruji pasal-pasal KUHP. 


Tindakan Bupati melaporkan rakyatnya sendiri ke kepolisian, dengan latar belakang aksi protes (PPPK) yang berujung anarkis, bukan sekadar blunder politik. Ini adalah pengkhianatan filosofis terhadap hakikat kekuasaan itu sendiri.


Dari sudut pandang filsafat politik, tindakan ini adalah sebuah paradoks kekuasaan yang sakit. 


Kekuasaan, dalam pemikiran Foucault, bukanlah sesuatu yang dimiliki, melainkan suatu relasi yang dipraktikkan. Kekuasaan yang sehat adalah yang bertujuan untuk memberdayakan, mengatur, dan memproduksi tatanan sosial yang adil. 


Namun, apa yang kita saksikan di sini? Kekuasaan justru berbalik menjadi alat represif untuk membungkam suara-suara yang lahir dari penderitaannya sendiri.


Para PPPK yang telah mengabdi puluhan tahun, yang menjadi tulang punggung pendidikan di daerah itu, justru dihadapkan pada sebuah sistem yang memproduksi "PPPK siluman", kata Demonstean PPPK saat aksi, sebuah ketidakadilan struktural yang nyata. 


Ketika mereka protes, dan ketika protes itu meledak menjadi amuk massa yang anarkis, Bupati memilih untuk melihatnya sebagai "tindak kriminal", bukan sebagai gejala dari luka sosial yang dalam. 


Dengan melaporkan rakyatnya, sang Bupati sedang mengobjekifikasi mereka; mengubah warga negara yang berhak bersuara menjadi sekadar "terlapor" di meja hijau. Ini adalah kegagalan memandang esensi masalah.


Lebih dalam lagi, tindakan ini mengingkari kontrak sosial yang menjadi fondasi negara modern, sebagaimana digagas Rousseau.


Seorang pemimpin tidak dilahirkan dari langit, melainkan dipilih oleh rakyat sebagai perwakilan kehendak umum (volonté générale).


Kedaulatan tertinggi sejatinya ada di tangan rakyat. Bupati, dalam konteks ini, hanyalah wakil yang diberi mandat untuk menyalurkan dan melindungi suara serta hak-hak mereka. 


Namun, apa jadinya ketika sang wakil justru menggunakan aparatur negara, untuk mengkriminalisasi suara yang seharusnya ia wakili? 


Ini bukan lagi pelanggaran prosedural, melainkan pengkhianatan ontologis. 


Ia telah memutus tali filosofis yang menghubungkannya dengan rakyat. Ia telah bertindak sebagai tuan, bukan sebagai pelayan.


Dari kacamata etika, kita bisa meninjaunya melalui filsafat Emmanuel Levinas. 


Inti dari tanggung jawab moral adalah "Wajah Orang Lain" (the Face of the Other). Wajah itu memanggil kita, menuntut tanggapan dan tanggung jawab tanpa syarat. 


Seorang pemimpin, lebih dari siapa pun, seharusnya paling peka terhadap "wajah" rakyatnya, wajah para guru yang lelah, frustasi, dan merasa dikhianati oleh sistem yang seharusnya mereka percayai. 


Tanggapan etis yang dituntut darinya adalah mendengarkan, berdialog, dan memperbaiki kesalahan. Bukan malah membalikkan punggung dan menunjuk mereka sebagai musuh hukum. 


Dengan melaporkan mereka, sang Bupati telah mengganti etika tanggung jawab dengan logika kekuasaan. 


Ia memilih untuk menjadi hakim daripada menjadi bapak.


Akhirnya, marilah kita bertanya secara filosofis: untuk apa sebenarnya kekuasaan itu? 


Plato dalam Republic berbicara tentang "Raja-Filsuf", pemimpin yang bijaksana, yang berkuasa bukan untuk kepentingan diri sendiri, tetapi untuk menciptakan negara yang adil dan baik (kallipolis). 


Pemimpin yang melihat kerusuhan bukan sebagai ancaman yang harus dihancurkan, tetapi sebagai demam tinggi tubuh politik yang menandakan adanya infeksi ketidakadilan. 


Daripada memberi antibiotik untuk menyembuhkan infeksi, sang Bupati justru memilih memberi obat tidur untuk membungkam yang sakit.


Oleh karena itu, Tindakan Bupati ini bukan hanya tidak politis, tetapi juga tidak filosofis. 


Ia telah kehilangan "jiwa" seorang pemimpin. 


Ia lupa bahwa kekuasaan yang ia pegang adalah pinjaman suara rakyat, dan ketika ia menggunakan kekuasaan itu untuk membungkam pemberi pinjaman, maka legitimasinya runtuh. 


Anarkisme fisik dalam demonstrasi adalah sebuah tragedi. Namun, anarkisme moral dari seorang pemimpin yang mengkriminalisasi suara rakyatnya adalah tragedi yang lebih dalam dan lebih kelam.


Ia bukan lagi memimpin, ia sedang memerangi mereka yang seharusnya ia lindungi. 


Dalam kitab filsafat kepemimpinan, tindakannya pantas dicatat sebagai contoh nyata dari pengabaian akal sehat dan nurani kolektif.


Salam Akal Sehat.

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl