Oleh: Nik Besitimur (Jurnalis Media Jurnal Investigasi)
Tanimbar, gugusan pulau di tenggara Maluku, dikenal sebagai tanah persaudaraan. Di sini, nilai luhur Duan Lolat yang berarti satu darah, satu akar, dan satu ikatan persaudaraan menjadi fondasi kehidupan sosial. Nilai itu bukan sekadar slogan, melainkan napas yang menghidupi masyarakat dari generasi ke generasi. Dalam semangat Duan Lolat, orang Tanimbar hidup berdampingan tanpa memandang perbedaan agama, suku, atau latar belakang. Namun, harmoni yang telah dijaga ratusan tahun itu kini mulai terguncang oleh ulah segelintir pihak yang menebar racun kebencian.
Akhir-akhir ini, masyarakat Tanimbar dikejutkan oleh munculnya tindakan-tindakan yang berpotensi mengoyak persaudaraan. Penolakan terhadap rencana pembangunan rumah ibadah, ujaran kebencian di media sosial, hingga perilaku diskriminatif mulai terlihat di tengah masyarakat. Meski dilakukan oleh sedikit orang, dampaknya sangat berbahaya. Mereka menyusup dalam kehidupan sosial dengan wajah ramah dan kata-kata manis, tetapi menyimpan bara yang siap membakar rumah besar Tanimbar.
“Intoleransi bukan sekadar perbedaan pendapat. Ia adalah penyakit sosial yang menggerogoti rasa persaudaraan dari dalam, Bibitnya kecil, tapi efeknya mematikan. Jika dibiarkan tumbuh, ia bisa membakar habis rumah besar kita: Tanimbar.”
Hukum dan Kemanusiaan Dilanggar
Dalam konteks berbangsa dan bernegara, intoleransi bukan hanya tindakan yang melukai hati sesama, tetapi juga pelanggaran terhadap hukum dasar negara. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 dengan tegas menyebutkan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Artinya, setiap tindakan yang menghalangi orang lain beribadah adalah bentuk pengkhianatan terhadap konstitusi sekaligus pengkhianatan terhadap nilai kemanusiaan.
Negara berdiri di atas pilar keadilan, persamaan, dan kebebasan berkeyakinan. Tindakan intoleran, sekecil apa pun, bertentangan dengan semangat itu. Di Tanimbar, yang masyarakatnya hidup dalam pluralitas, intoleransi adalah racun yang paling berbahaya. Ia tidak hanya menimbulkan luka sosial, tetapi juga bisa berkembang menjadi konflik horizontal yang sulit dipadamkan.
Karena itu, masyarakat Tanimbar diingatkan untuk tidak tinggal diam. Diam berarti setuju, dan ketidakpedulian adalah ruang bagi kejahatan untuk tumbuh. Intoleransi harus ditolak bersama, dilawan bersama, dan dihentikan bersama. Seluruh elemen masyarakat tokoh adat, tokoh agama, pemuda, dan perempuan harus menjadi garda depan penjaga kedamaian.
Persatuan Adalah Benteng Tanimbar
“Kalau kita biarkan, intoleransi akan tumbuh seperti api kecil yang perlahan membakar rumah kita. Tapi kalau kita padamkan bersama, Tanimbar akan tetap damai, masyarakat tidak boleh terpancing oleh provokasi atau isu menyesatkan yang kerap muncul di media sosial”
Pemerintah daerah Kepulauan Tanimbar bersama aparat keamanan juga diminta bertindak cepat dan tegas terhadap siapa pun yang mencoba memecah belah masyarakat dengan isu agama atau kebencian. Tindakan hukum yang konsisten adalah bentuk perlindungan terhadap nilai Duan Lolat yang menjadi identitas Tanimbar. Bila nilai itu rusak, seluruh tatanan sosial akan ikut runtuh.
Tanimbar bukanlah tanah kebencian. Ia adalah tanah kasih, tempat semua umat berdoa dan hidup bersama dalam damai. Oleh sebab itu, segala bentuk intoleransi harus dianggap sebagai musuh bersama. Menjaga persaudaraan bukan hanya tugas pemuka agama, tetapi tanggung jawab kita semua dari desa hingga kota, dari pejabat hingga rakyat biasa.
Peran Pemuda dan Media Sosial.
Pemuda harus menjadi pelopor toleransi dan penjaga damai. Mereka yang hidup di era digital harus mampu menjadi filter terhadap informasi provokatif yang berpotensi memecah masyarakat. Sikap kritis, empati, dan kesadaran sosial harus ditanamkan sejak dini agar generasi muda Tanimbar tidak mudah dimanipulasi oleh isu-isu sektarian.
Gerakan Moral dan Kesadaran Kolektif
Seruan moral untuk Stop Intoleransi di Tanimbar kini menggema di berbagai penjuru kepulauan. Gereja, rumah adat, sekolah, hingga media lokal mulai menyuarakan pesan yang sama: menjaga kedamaian dan menolak kebencian. Di beberapa desa, tokoh-tokoh agama bahkan menginisiasi pertemuan lintas iman untuk memperkuat komitmen persaudaraan dan mempererat silaturahmi antarumat.
Gerakan ini bukan sekadar simbol, tetapi refleksi nyata dari kesadaran kolektif masyarakat Tanimbar bahwa perdamaian adalah warisan yang tidak ternilai. “Kita ini bersaudara. Kalau satu pihak disakiti, seluruh Tanimbar ikut terluka. Jangan biarkan segelintir orang yang haus konflik menghancurkan keharmonisan yang sudah kita rawat puluhan tahun.
Masyarakat Tanimbar harus kembali menyalakan api kasih, bukan api kebencian. “Duan Lolat adalah roh kita. Kalau roh itu mati, maka Tanimbar juga mati.”
Tanimbar Harus Tetap Jadi Rumah Bersama
Dalam sejarah panjangnya, Tanimbar tidak pernah dikenal sebagai tanah perpecahan. Justru sebaliknya, ia menjadi contoh bagaimana perbedaan bisa hidup berdampingan secara damai. Hubungan lintas iman di Tanimbar adalah salah satu potret paling indah dari Indonesia yang sesungguhnya: beragam tapi tetap satu.
Kini, harmoni itu menghadapi ujian. Tantangan datang dari luar dan dalam, dari orang yang tidak memahami nilai-nilai luhur hingga mereka yang memanfaatkan perbedaan untuk kepentingan pribadi. Karena itu, seluruh masyarakat Tanimbar harus bersatu menjaga warisan perdamaian ini agar tidak ternoda oleh ambisi segelintir pihak.
“Mari bersuara lantang: Stop Intoleransi di Tanimbar!” Jaga rumah kita dari api kebencian, karena jika kita tidak bertindak hari ini, besok bisa jadi sudah terlambat. Persaudaraan adalah harga mati. Tanimbar harus tetap damai, rukun, dan penuh cinta bagi semua umat.”
Tanimbar adalah rumah besar bagi semua anak bangsa yang memilih hidup dalam kasih dan toleransi. Inilah saatnya semua pihak bergandengan tangan, menyalakan kembali semangat Duan Lolat satu hati, satu jiwa, satu tujuan.
Karena kedamaian bukan sekadar cita-cita, tetapi tanggung jawab bersama. Jika Tanimbar kehilangan rasa persaudaraannya, maka hilanglah jati diri orang Tanimbar itu sendiri. Mari jaga tanah ini dari api kebencian, agar Tanimbar tetap menjadi tanah kasih damai untuk semua, selamanya.