Saumlaki, Jurnalinvestigasi.com – Suasana Kabupaten Kepulauan Tanimbar kian berdenyut panas menyusul sikap tegas umat Katolik dari berbagai penjuru yang bangkit menentang dugaan tindakan intoleransi terhadap pembangunan rumah ibadah di atas tanah Urlatu Latdalam. Sabtu, (10/11/2025).
Gelombang dukungan semakin menguat setelah Ketua Dewan Pengurus Paroki (DPP) Hati Kudus Yesus (HKY) Olilit Barat, Albert Dion Ressy, secara lantang menyatakan dukungan penuh terhadap aksi damai umat Kwasi Paroki Tritunggal Mahakudus Sifnana.
Bagi Ressy, ini bukan sekadar dukungan biasa. Ini adalah pernyataan perang moral melawan setiap bentuk kebencian dan diskriminasi yang mengancam sendi-sendi toleransi di Bumi Duan Lolat. Dengan suara yang bergetar namun tegas, ia menegaskan:
“Pernyataan ini sebagai bentuk solidaritas untuk seluruh elemen umat Sifnana yang berjuang demi tegaknya toleransi dan kebebasan beribadah yang lebih baik di Bumi Duan Lolat. Aksi demo adalah hak demokratis yang harus dihormati dan dilindungi. Kami dukung perjuangan mereka dengan menuntut keadilan dan transparansi proses dari tuntutan aksi mereka.”
Pernyataan itu menggema seperti lonceng peringatan. Di tengah ketegangan yang masih terasa di Desa Latdalam, suara Ressy menjadi simbol persatuan lintas paroki sebuah panggilan moral agar seluruh umat Katolik di Kepulauan Tanimbar tidak tinggal diam menghadapi bibit intoleransi yang mulai tumbuh di tanah yang selama ini dikenal damai dan berbudaya.
Seruan Moral: Jangan Biarkan Tanimbar Terbelah
Ressy menegaskan, dukungan HKY Olilit Barat tidak hanya bersifat simbolik, tetapi juga merupakan komitmen nyata untuk menjaga wajah Tanimbar sebagai tanah yang ramah dan religius.
“Kami mendukung penuh aksi demo yang dilakukan oleh umat Sifnana untuk menyuarakan aspirasi dan menuntut keadilan. Kami percaya bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk menyampaikan pendapat dan menuntut perubahan yang lebih baik. Mari kita berjuang bersama untuk menciptakan masyarakat Tanimbar yang bebas beribadah di mana saja dan menolak intoleransi di Bumi Duan Lolat,” ujarnya.
Nada suaranya mengeras, seolah menegaskan bahwa ini bukan sekadar peristiwa lokal tapi peringatan nasional tentang pentingnya menjaga kebebasan beragama. Ia mengingatkan bahwa satu tindakan intoleransi yang dibiarkan bisa menjadi bara yang melahap keutuhan sosial.
Lima Tuntutan Tegas DPP HKY Olilit Barat
Dalam pernyataannya, Ressy menyampaikan lima poin tuntutan resmi yang memperlihatkan sikap tegas gereja terhadap peristiwa tersebut:
- Menolak segala bentuk intoleransi dalam bentuk apa pun, khususnya yang berkaitan dengan agama. Ressy menegaskan bahwa setiap individu memiliki hak untuk hidup damai, bebas dari diskriminasi, serta dihormati martabatnya. “Mari kita bersama-sama mempromosikan toleransi, empati, dan kasih sayang untuk menciptakan masyarakat yang lebih harmonis dan inklusif,” ujarnya.
- Mendukung proses hukum yang adil dan transparan bagi pihak-pihak yang diduga terlibat dalam tindakan intoleransi atas nama Resa Fordatkosu, Dedi Fordatkosu, Cande Refwalu, dan Eko Falirat. Ia menekankan bahwa setiap tindakan yang mengarah pada intoleransi harus dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
- Menuntut aparat penegak hukum agar menindaklanjuti kasus ini secara serius dan transparan. Ressy menyebut, pihaknya memberikan waktu 3 x 24 jam kepada aparat berwenang untuk memproses kasus tersebut sesuai prosedur hukum. “Kami berharap keadilan dan ketertiban dapat segera ditegakkan, serta masyarakat dapat hidup dengan aman dan damai,” tegasnya.
- Mendesak DPRD Kabupaten Kepulauan Tanimbar (KKT) untuk segera memproses status anggota DPRD atas nama Resa Fordatkosu, sesuai dengan ketentuan etika lembaga legislatif.
- Meminta Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) agar segera memberhentikan Resa Fordatkosu dari keanggotaan partai maupun dari jabatannya sebagai anggota DPRD KKT.
“Jika Diam, Kami Akan Bergerak!”
Suasana semakin mencekam ketika Ressy menegaskan bahwa DPP HKY Olilit Barat tidak akan berhenti di sini.
“Jika tuntutan masyarakat Desa Sifnana tidak diindahkan dalam waktu 3 x 24 jam, maka kami Paroki HKY Olilit Barat akan ikut bergerak bersama mereka. Bahkan kami segera mengkonsolidasikan ke seluruh paroki di KKT untuk terlibat langsung dalam aksi jilid II mendatang. Ini tuntutan serius,” tutupnya.
Nada ultimatum itu menggema di tengah keheningan ruang pertemuan. Ucapan Ressy seolah menjadi tanda peringatan keras bagi semua pihak bahwa umat Katolik Tanimbar tidak akan menoleransi tindakan intoleransi apa pun.
Di luar gereja, desas-desus semakin meluas. Umat dari berbagai paroki disebut tengah bersiap mengibarkan solidaritas lintas wilayah. Spanduk-spanduk berisi pesan “Tanimbar Rumah Semua” dan “Tolak Intoleransi, Tegakkan Keadilan!” mulai bermunculan di beberapa sudut kota Saumlaki.
Gelombang Solidaritas Semakin Besar
Pernyataan DPP HKY Olilit Barat ini menambah arus solidaritas umat Katolik di seluruh Kepulauan Tanimbar. Di media sosial, tagar #DuanLolatTolakIntoleransi mulai ramai diserukan, menggambarkan kemarahan kolektif warga terhadap tindakan yang dianggap mencederai keharmonisan antarumat beragama.
Sumber internal gereja menyebut, beberapa paroki besar di KKT juga telah menyiapkan langkah serupa, termasuk kemungkinan aksi lanjutan jika pemerintah daerah dan aparat penegak hukum tidak segera bertindak.
Situasi ini menunjukkan bahwa isu intoleransi di Latdalam bukan sekadar persoalan lokal, melainkan ujian terhadap komitmen kebangsaan dan kemanusiaan di Tanah Duan Lolat.
Tanimbar di Persimpangan: Damai atau Terbelah?
Kini, seluruh mata tertuju pada langkah pemerintah daerah, DPRD, dan aparat penegak hukum. Warga menunggu apakah tuntutan umat Sifnana dan dukungan HKY Olilit Barat akan dijawab dengan tindakan nyata atau dibiarkan menjadi bara yang menyala di bawah abu.
Satu hal pasti: Bumi Duan Lolat tengah diuji.Apakah ia akan tetap menjadi simbol damai di ujung timur Indonesia atau justru menjadi catatan kelam tentang kegagalan menjaga toleransi?
Catatan Redaksi
Dukungan dari DPP HKY Olilit Barat ini menjadi suara peringatan moral bagi seluruh pihak agar tidak menyepelekan isu intoleransi. Di tengah dinamika sosial yang sensitif, kebebasan beragama bukan sekadar hak konstitusional tapi juga jantung dari kemanusiaan itu sendiri. (Naryemin)