Maluku, Jurnalinvestigasi.com - Sekretaris Hena Hetu Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) Verry V. Jacob menyoroti pola pikir dugaan korupsi yang muncul di daerah itu setelah sejumlah perkara yang melibatkan pejabat memasuki tahap penyidikan. Pernyataan itu disampaikan dalam keterangan resminya di Ambon pada pekan ini.
Informasi yang diperoleh menyebut beberapa pejabat telah ditetapkan tersangka dalam kasus berbeda. Berdasarkan keterangan lapangan, terdapat pihak yang didakwa namun disebut tidak menikmati hasil sebagaimana tuduhan yang berkembang.
Dalam pernyataannya, Verry menilai persoalan itu tidak hanya berkaitan dengan individu, tetapi juga tata kelola pemerintahan di SBB maupun wilayah lain di Maluku. Ia mengatakan fenomena tersebut berkaitan dengan sistem birokrasi yang berjalan.
“Korupsi = Pencuri = Perampok = Begal. Itulah kata yang sering muncul dengan berbagai konotasi negatif,” kata dia.
“Namun, benarkah kita sudah melihat masalah ini dari akarnya? Atau kita hanya terjebak dalam drama menangkap tikus sambil membiarkan lumbungnya lapuk?” lanjutnya.
Ia menyebut temuan yang terungkap di Setda SBB merupakan bagian kecil dari persoalan sistem pemerintahan yang belum tertata. Menurutnya, tata kelola yang lemah dapat menempatkan pejabat bersih sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kesalahan struktural.
“Sebuah sistem yang tidak hanya melahirkan koruptor, tetapi juga menjadikan pejabat yang bersih sebagai tumbal,” ujar Verry.
Dalam bagian lain, ia menyinggung tekanan non-anggaran yang disebut sering membebani pejabat daerah. Verry memberi contoh kegiatan protokoler dan penerimaan tamu yang tidak tercantum dalam anggaran resmi daerah.
“Seorang pejabat di SBB menghadapi dilema yang tidak tercatat dalam buku anggaran, seperti Biaya Siluman, tamu daerah, dan rombongan tambahan. Penginapan, jamuan makan, serta cinderamata harus disediakan meski tidak ada pos khusus untuk keperluan itu,” jelasnya.
Menurut dia, kebutuhan tersebut sering membuat pejabat mencari sumber pendanaan dari pos lain secara tidak transparan karena tuntutan protokoler dianggap lebih kuat daripada aturan anggaran. Ia menambahkan tekanan serupa juga datang dari organisasi masyarakat, kelompok adat, dan kegiatan keagamaan.
“Ormas mendatangi kantor pemerintahan meminta sumbangan. Jika ditolak, ancamannya demo atau gangguan stabilitas. Begitu pula permintaan kegiatan keagamaan dan adat. Pejabat terjepit antara aturan anggaran dan potensi konflik sosial,” ujar Verry.
“Yang sering terjadi, pejabat memilih jalan damai dengan mengeluarkan dana yang sumbernya harus diakali,” tuturnya.
Verry juga menyinggung kondisi geografis di beberapa desa pegunungan Pulau Seram. Menurutnya, biaya transportasi dan kerusakan akses membuat standar pertanggungjawaban anggaran tidak sejalan dengan kenyataan lapangan.
“Beberapa desa seperti Rumberu, Rambatu, Manusa, Hukuanakota, Abio, Ahiolo, Rumahtita, Imabatai, dan Honitetu harus ditempuh melalui jalan sangat rusak. Biaya ojek bisa Rp250 ribu hingga Rp300 ribu sekali jalan. Kendaraan pribadi rusak setiap beberapa hari,” ungkapnya.
“Apabila kondisi ini dimasukkan dalam anggaran desa, apakah dapat diterima oleh auditor? Bahkan kwitansi untuk tukang ojek pun tidak tersedia,” tambahnya.
Pada bagian berikutnya, ia menyoroti praktik perintah lisan dalam birokrasi yang dianggap menjadi pemicu sejumlah kasus. Verry menilai pola itu membuat bawahan berada pada posisi sulit ketika diminta menggunakan dana tanpa dokumen pendukung.
“Ini praktik mematikan: perintah lisan dan bawahan sebagai tumbal. Pejabat memanggil PPK atau bendahara dan memberi perintah lisan ‘siapkan dana sekian’. Tidak ada kwitansi dan tidak ada bukti pembayaran yang sah,” tegas Verry.
“Ketika audit BPK datang, nama bawahan yang muncul karena mereka yang memegang dana dan menandatangani dokumen. Pejabat pemberi perintah bisa berkelit dengan mengatakan itu inisiatif bawahan,” ujar dia.
Ia menyebut kondisi itu sebagai bentuk “korupsi terpaksa” atau “korupsi sistemik”, di mana bawahan terjebak antara perintah atasan dan aturan pengelolaan keuangan yang berlaku.
Hingga kini belum ada penjelasan resmi dari Pemerintah Kabupaten SBB terkait kritik tersebut. Informasi yang diperoleh menyebut proses pemeriksaan sejumlah kasus masih berjalan di tingkat penyidik.
Wartawan masih berupaya menghubungi instansi terkait untuk mendapatkan klarifikasi tambahan. Hingga laporan ini diterbitkan, belum ada tanggapan lanjutan dari pemerintah daerah. (*)


