Pontianak, Kalimantan Barat — 10 Agustus 2025 - Perayaan HUT ke-6 Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Kalimantan Barat pada Jumat (8/8/2025) yang semestinya menjadi momentum apresiasi bagi insan pers, justru menyisakan kontroversi. Gubernur Kalbar, Drs. H. Ria Norsan, M.M., M.H., dalam sambutannya menyinggung fenomena “wartawan bodrex” yang ia kaitkan dengan maraknya media online abal-abal.
Pernyataan itu dilontarkan di hadapan puluhan jurnalis, pejabat daerah, dan undangan resmi. “Ini yang saya sebut wartawan bodrex. Rawan sekali disalahgunakan,” ucapnya, merujuk pada media yang berganti nama atau akun namun dikelola oleh pihak yang sama.
Istilah “wartawan bodrex” secara umum dipahami publik sebagai julukan bagi oknum jurnalis yang dinilai tidak profesional, bahkan terindikasi menjadikan profesi pers sebagai alat kepentingan atau pemerasan. Ucapan tersebut seketika memicu respons beragam dari kalangan jurnalis yang hadir. Sebagian menilai kritik itu tepat sasaran bagi oknum, tetapi sebagian lain memandangnya sebagai bentuk generalisasi yang berpotensi mencederai martabat profesi wartawan, terutama di era digital.
Dalam konteks hukum, pernyataan pejabat publik yang mengandung unsur penghinaan atau merendahkan profesi tertentu dapat memicu konsekuensi. Apabila diinterpretasikan sebagai tuduhan tanpa bukti kepada individu atau kelompok spesifik, hal tersebut dapat dikaitkan dengan Pasal 310 dan Pasal 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pencemaran nama baik dan fitnah, atau Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) jika penyampaian dilakukan melalui media elektronik dan dianggap menyerang kehormatan orang perorangan atau kelompok.
Meski tidak menyebut nama, penggunaan istilah yang bermakna peyoratif di forum resmi berpotensi menimbulkan dampak reputasional, terlebih bagi jurnalis yang bekerja di media online. Hal ini mengundang diskusi mengenai batas antara kritik terhadap praktik jurnalisme yang buruk dan penghinaan terhadap profesi pers secara umum.
Ria Norsan menegaskan bahwa ia menerima kritik sepanjang berbasis kebijakan dan fakta. “Kalau mengkritik kebijakan, silakan. Sampai titik terakhir pun saya siap menerima. Tapi kalau sudah menyentuh hal pribadi dan tidak bisa dibuktikan, saya tidak akan tinggal diam,” ujarnya. Ia pun mengajak insan pers memperkuat kemitraan dengan pemerintah.
Namun, di sisi lain, pakar etika komunikasi menilai bahwa forum perayaan HUT organisasi profesi semestinya digunakan untuk mempererat sinergi, bukan menimbulkan potensi gesekan. Bola panas dari istilah “wartawan bodrex” kini berpotensi menggelinding menjadi perdebatan yang tak hanya di ranah etik, tetapi juga hukum, jika ada pihak yang merasa dirugikan dan memilih menempuh jalur resmi.
Tim Liputan Awak Media
Red/Tim*