Tanggal 28 Oktober selalu menjadi momentum bersejarah bagi bangsa ini. Delapan puluh tujuh tahun silam, para pemuda dari berbagai penjuru Nusantara menyatukan tekad dalam Sumpah Pemuda sebuah ikrar monumental yang melahirkan kesadaran kebangsaan dan menjadi fondasi berdirinya Indonesia merdeka. Namun hari ini, di tahun 2025, semangat itu seolah diuji kembali oleh realitas sosial dan ekonomi yang kian kompleks.
Pemuda Indonesia bukan sekadar simbol harapan masa depan mereka adalah potensi aktual yang tengah berjuang menembus tembok ketimpangan, pengangguran, dan keterbatasan akses pendidikan. Ironisnya, di tengah jargon besar tentang “bonus demografi”, banyak di antara mereka justru hidup dalam ketidakpastian arah dan nasib. Negara yang seharusnya hadir sebagai penjamin masa depan, sering kali tampak lambat dan tumpul dalam merespons kebutuhan riil generasi muda.
Masih banyak anak muda di pelosok negeri yang berjuang keras hanya untuk menamatkan sekolah dasar atau menengah. Ketimpangan kualitas pendidikan antara kota besar dan daerah tertinggal begitu lebar. Di satu sisi, ada pemuda dengan akses internet cepat, laboratorium modern, dan beasiswa ke luar negeri,di sisi lain, ada yang harus berjalan berkilo-kilometer menembus jalan tanah demi menuntut ilmu.
Ini bukan sekadar persoalan infrastruktur, tetapi persoalan keberpihakan negara. Pendidikan bukanlah hadiah, melainkan hak. Maka, negara tak boleh hanya menjadi penonton dalam urusan mencerdaskan kehidupan bangsa sebuah janji konstitusional yang seharusnya menjadi tanggung jawab utama, bukan slogan kampanye.
Realitas lain yang tak kalah mencemaskan adalah lapangan kerja yang kian sempit dan tidak sebanding dengan jumlah lulusan baru setiap tahun. Ribuan sarjana lahir tanpa jaminan kesempatan kerja yang layak. Mereka terjebak dalam pekerjaan informal atau menjadi korban eksploitasi industri digital yang serba instan.
Di sinilah seharusnya peran negara menjadi nyata menciptakan kebijakan ekonomi yang berpihak pada inovasi anak muda, memberi ruang bagi kreativitas, dan melindungi mereka dari ketidakadilan pasar tenaga kerja.
Negara tidak boleh hanya bangga memamerkan program inkubasi start-up atau beasiswa internasional yang hanya menyentuh segelintir kalangan. Yang dibutuhkan adalah kehadiran nyata kebijakan yang memastikan setiap anak muda, dari Sabang hingga Merauke, memiliki kesempatan yang sama untuk bermimpi dan berjuang.
Keadilan sosial bukan hanya cita-cita, tetapi harus menjadi kerja nyata negara. Pemuda tidak butuh janji, mereka butuh arah.
Di momen Sumpah Pemuda tahun ini, bangsa ini perlu merenung apakah negara benar-benar telah menghormati warisan perjuangan para pendahulu yang bersumpah untuk satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa?
Kesatuan itu bukan hanya soal simbol, tetapi juga soal kesetaraan dalam hak untuk maju. Jika negara abai terhadap masa depan pemudanya, maka sesungguhnya ia sedang mengkhianati semangat Sumpah Pemuda itu sendiri.
Kini saatnya negara meneguhkan kembali perannya bukan sekadar sebagai pengatur, tetapi sebagai penjamin masa depan.
Karena bangsa yang besar bukan hanya yang menghormati sejarahnya, tetapi juga yang berani menyiapkan masa depan generasinya.
Selamat Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2025.
Hidup pemuda Indonesia mari terus mencintai dan wujudkan Indonesia yang lebih adil, cerdas, dan berdaulat.
(Penulis adalah Redaktur Pelaksana Media Jurnal Investigasi/sekjen DPD KPK Tipikor Kab.Majalengka, M.Rachmat Saputra )


